Penggilingan Kopi di Aceh Pantang Pakai Alat Modern
- VIVA.co.id/Dani Randi
VIVA.co.id – Sebagian besar penggilangan kopi kini sudah menggunakan peralatan modern, hasilnya pun lebih halus. Peralatan tradisional dianggap usang dan justru dianggap memperlambat proses produksi.
Namun argumentasi itu tidak berlaku bagi Wunca, seorang pemilik penggilingan biji kopi di Desa Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Ia masih mempertahankan proses penggilingan menggunakan cara dan alat tradisional.
Industri rumahan pengolahan biji kopi menjadi bubuk yang digelutinya secara turun temurun sejak 25 tahun lalu, masih setia menemaninya dalam mencari rezeki.
Seperti menggunakan alat penggongseng kopi, berupa drum ukuran kecil berkapasitas 20 kilogram yang diputar dengan cara manual menggunakan besi sebagai penopangnya. Alat itu diputar selama 2,5 jam di atas bara api.
Setelah itu, biji kopi yang sudah gosong didinginkan sebelum masuk ke penggilingan dengan cara ditumbuk. Alat penumbuk biji kopi tradisional khas Aceh, seperti jingki, masih digunakan. Jingki adalah sebuat alat tradisional yang terbuat dari kayu pilihan yang terdapat di hutan Aceh, dulu digunakan untuk menumbuk padi, beras, sagu, biji kopi, dan lain-lain.
Cara kerja jingki adalah digerakkan dengan kaki pada titik tumpang yang lebih ke ujung sehingga akan mengangkat ujungnya yang satu lagi dan memberikan pukulan yang kuat. Pada ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas dua bagian tegak lurus yang dihubungkan kayu as (penggerak) horisontal, sehingga membuat jingki naik turun. Sedangkan di titik ujung untuk menumbuk lesung digunakan alu.
Alat inilah yang digunakan Wunca tiap hari untuk menumbuk biji kopi yang sudah digongseng. “Untuk menumbuk biji kopi supaya halus membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit,” katanya kepada VIVA.co.id saat ditemui di tempat penggilingan kopi miliknya pada Sabtu, 7 Oktober 2017.
Setelah ditumbuk, biji kopi yang masih kasar itu disaring dengan alat sederhana. Kemudian diberikan ke pemilik kopi. Cara seperti itu dilakoninya agar menjaga tradisi yang mulai ditinggalkan kebanyakan orang seprofesinya.
Wunca bisa menumbuk hingga 200 kilogram biji kopi per hari. Ia dibantu dua orang saudaranya. Umumnya, pengguna jasa tumbuk biji kopi itu datang dari pemilik warung kopi.
Namun, Wunca juga menyediakan kopi bubuk dengan harga berkisar Rp50 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram. “Kalau untuk jasa penumbukan biji kopi saja, itu lima puluh ribu per sepuluh kilogram,” katanya. (ren)