Liwetan, Tradisi Santap Seru Sarat Kebersamaan
- Instagram @mmawikere
VIVA.co.id – Liwetan. Siap-siap terbelalak melihat gaya bersantap satu ini. Mereka yang dalam keadaan perut kosong bisa-bisa kalap melahap nasi, sayur mayur, gorengan dan lauk pauk berlimpah. Semuanya disusun rapi sedemikian rupa di atas daun pisang yang diletakkan dalam posisi memanjang. Sambal, lalapan dan kerupuk tak pernah absen dalam tradisi bersantap ini.
Serunya, gaya bersantap liwetan tidak memakai etika table manner pada umumnya. Anda bebas menyantap nasi dan mengambil lauk pauk yang tersaji di atas pelepah pisang. Semua dimaksudkan untuk dinikmati ramai-ramai dan berebutan menggunakan tangan. Tapi jangan meleng atau keasyikan mengobrol, karena lauk di depan Anda bisa saja disambar orang.
Belakangan, gaya bersantap liwetan memang sedang nge-tren di ibu kota Jakarta. Semakin banyak pelauk industri kuliner yang membawa gaya bersantap tradisional ini ke satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya, yakni bertempat di restoran mewah nan modern. Tak sedikit juga ibu-ibu dan karyawan kantor yang mengadakan liwetan di acara-acara istimewa, mulai dari arisan hingga kumpul-kumpul.
Nama liwetan sebenarnya diambil lantaran nasi yang disajikan umumnya merupakan nasi liwet Sunda. Namun, banyak yang belum tahu bahwa nasi liwet dan tradisi liwetan sebenarnya bermula di Kota Solo ratusan tahun silam. Banyak pula daerah lain di Nusantara yang punya tradisi bersantap yang sama, namun dengan nama yang berbeda.
Sejarah Liwetan
Menurut Pakar Kuliner Indonesia, Linda Farida Rahmat, meski masyarakat Sunda juga punya nasi liwet, sebenarnya tradisi liwetan berasal dari Solo. Zaman dulu belum ada nasi liwet Bandung, Cirebon atau Banten seperti saat ini. Ia juga menduga bahwa tradisi tersebut sudah ada di Tanah Air sekitar lebih dari 100 tahun yang lalu di zaman raja-raja Solo.
"Itu (usianya) sudah pasti lebih dari 100 bahkan 200 tahun, karena itu dipakai buat raja-raja kalau lagi ada upacara, jamuan," kata Linda saat dihubungi VIVA.co.id melalui sambungan telepon baru-baru ini.
Wanita yang juga merupakan anggota Tim Ahli Bidang Kuliner Warisan Budaya Takbenda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia itu menjelaskan, 'liwetan' sendiri merupakan kata benda yang merujuk pada satu gaya menyantap nasi liwet, atau bisa juga menggambarkan hasil dari proses memasak nasi liwet. Sama halnya dengan gudegan atau nasi udukan.
"Karena itu sudah jadi lifestyle yang saya bilang merujuk pada nasi bajamba yang ada di Padang, dimakan ramai-ramai, atau dari Arab, nasi kebuli yang bisa (dimakan) barengan. Jadi pakai daun pisang (dimakan) ramai-ramai," ujarnya menjelaskan.
Tentu saja ada makna di balik tradisi liwetan, yaitu kebersamaan dan persaudaraan. Di mana orang menyantap nasi liwet dan lauk pauknya bersama-sama menggunakan tangan, tanpa memandang derajat orang lain. Pejabat atau rakyat biasa, semuanya menyatu dan duduk bersama mengitari pelepah pisang, menikmati nasi serta lauk pauk yang berlimpah di atasnya.
Nasi liwet Solo versus Sunda
Bicara tradisi liwetan, tak terlepas dari nasi liwet, sang bintang utamanya. Pada prinsipnya, nasi liwet adalah nasi yang dimasak sekaligus sampai matang, sehingga tak perlu diaron lagi. Sekali masak langsung jadi.
Perlu diketahui, zaman dulu nasi biasanya dimasak setengah matang terlebih dahulu. Jika memakai kukusan, nasi dikukus dulu, kemudian dituang ke dalam panci kayu dan diberi air saat masih panas. Setelah didiamkan, lalu dikukus lagi. Tetapi, jika memakai panci, setelah diaron baru nasi diletakkan ke dalam dandang.
"Itu cara tradisional Indonesia sebelum ada magic com atau rice cooker, karena dua alat itu kan prinsipnya langsung masak, langsung jadi," katanya.
Tetapi, harus dicatat bahwa nasi liwet Solo dan Sunda sangatlah berbeda. Linda mengatakan, nasi liwet Sunda tidak menggunakan santan, melainkan hanya air biasa. Namun, lauk pauknya sangat variatif. Ikan asinnya saja ada 20 macam, mulai dari jambal, gabus hingga teri. Bumbunya pun tak kalah beragam.
Meski ada juga nasi liwet Sunda yang menggunakan santan, namun secara umum nasi liwet versi Sunda dimasak menggunakan air dan bermacam-macam tumisan. Untuk bumbunya, sudah pasti ada daun salam, laos, bawang merah, bawang putih dan serai.
Namun, dalam 35 tahun terakhir, seiring perkembangan zaman ada orang yang suka menambahkan berbagai bumbu lain, misalnya daun pandan atau daun jeruk supaya wangi. Ada juga yang menggunakan tomat untuk menambah cita rasa asam.
"Basic bumbu zaman dahulu kala cuma daun salam sama serai. Tapi dengan adanya perkembangan, orang ingin wangi-wangi lain, baru ditambah daun lain. Dalam perkembangannya juga ada yang pakai air kaldu saat masak nasinya," ucapnya menambahkan.
Lebih lanjut, Linda menuturkan bahwa sekarang bumbu nasi liwet juga ditumis. Tidak seperti zaman dahulu, yang semua bumbunya dimasukkan sekaligus ke dalam nasi dan dimasak bersama. Metode masak yang lebih menarik dan menyenangkan tersebut dilakukan agar aroma bumbu-bumbu tadi lebih merebak.
Tak sedikit pula yang memilih menambahkan potongan hati ayam, petai dan ikan asin, yang sebelumnya digoreng dulu, kemudian ditumis kembali bersama bumbunya. Lalu baru dicampur semua menjadi satu dengan nasinya.
Prinsip nasi liwet Solo adalah dimasak satu kali langsung jadi, namun di Sunda bisa dikreasikan dengan berbagai macam bumbu dan cara memasak tergantung selera. Kemudian disajikan bersama sambal, gorengan tahu dan tempe.
"Tetapi kalau di Solo sudah ada pakemnya, yaitu nasinya dimasak sudah pakai santan. Berasnya juga dicampur daun salam, sereh, laos dan pasti garam itu harus ada," kata dia.
Di Solo, nasi liwet juga dihidangkan dengan lauk lainnya, mulai dari sambal goreng labu siam, sambal goreng waluh, pindang telur dan tak lupa disiram areh atau santan kental yang dimasak sendiri. Konsistensinya seperti krim yang tidak encer, tapi tidak terlalu kental. Tentu saja, ada juga sambalnya.
"Jadi nasinya saja sudah gurih kayak nasi uduk. Tapi bedanya, nasi uduk dikukus dua kali, jadi agak utuh (berasnya). Kalau (nasi) liwet, baik yang (menggunakan) air atau santan, atau yang (versi) Sunda agak lebih lembek dari nasi biasa, dan kemungkinan (ukuran bulir nasinya) besar karena dimasak sekali. Kalau bisa (dimakan) jangan ditunggu dingin karena enggak enak. Nasi liwet mesti hangat biar masih saling lengket dan masih lembut," ujar Linda menjelaskan.
Tiap Daerah Punya Versi
Kalau liwetan dengan nasi liwet sebagai bintang utamanya, memang berasal dari Solo. Namun, berbagai daerah di Nusantara sebenarnya punya tradisi liwetan versi masing-masing, meski nasi yang digunakan bukanlah nasi liwet. Tentu juga dengan nama yang berbeda-beda. Ya, makan nasi dan lauk pauk bersama-sama dengan beralaskan daun pisang sebenarnya ada di berbagai daerah di Tanah Air.
Orang Sunda punya bancakan dan botram yang perbedaannya adalah dari segi pihak yang bertanggung jawab menyediakan makanan. Disebut bancakan ketika makanan disediakan oleh sang empunya hajat. Sementara dalam tradisi botram, semua orang yang ikut serta wajib membawa lauk pauk yang nantinya disantap bersama-sama, atau istilah modernnya potluck party.
Botram juga bisa dibilang tradisi makan bersama yang informal atau tidak resmi, sehingga bisa dilakukan di mana saja, seperti di rumah, kebun dan di tempat-tempat lain. Tradisi ini umumnya dilakukan orang Sunda menjelang Bulan Ramadan. Menariknya, dalam acara botram, pesertanya tak boleh membicarakan hal-hal menyedihkan, serius atau sesuatu yang bisa merusak selera makan.
Kemudian di Bali juga ada tradisi magibung. Sementara masyarakat Minangkabau punya nasi bajamba, yang meski tidak beralaskan daun pisang, namun konsep makannya sama dengan liwetan, yakni sepiring besar nasi dengan lauk pauk yang dinikmati bersama-sama.
Kebanyakan dari tradisi-tradisi tersebut dilakukan di acara-acara istimewa, seperti upacara adat, perayaan dan hari raya.
"Dengan percampuran kebudayaan antara kerajaan-kerajaan di Jawa, banyak cara makan dan makanan yang mirip (dengan tradisi liwetan)," ucap Linda.
Belum diakui dunia
Meski sudah ada sejak 100-200 tahun lalu, baik nasi liwet maupun tradisi liwetan merupakan Karya Budaya Nusantara yang belum diakui secara internasional sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Bahkan, belum ada satu pun kuliner Tanah Air yang masuk ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Kasubdit Warisan Budaya Takbenda Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI, Lien Dwiari Ratnawati mengatakan, itu karena belum ada komunitas adat dan pemerintah daerah (pemda) yang mengusulkan.
"Harus diusulkan karena jika nanti diterima atau masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, yang melakukan pelestariannya adalah komunitas adat dan pemda pemilik budaya itu," kata Lien saat ditemui VIVA.co.id, Minggu, 23 April 2017.
Kemendikbud juga telah melakukan upaya-upaya untuk mendorong komunitas adat dan pemda untuk mengusulkan kekayaan budaya dari daerah. Lalu, mengapa kuliner belum juga diusulkan menjadi kekayaan budaya untuk diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO? Lien mengatakan, kesulitan yang dihadapi para komunitas adat dan pemda adalah pencatatan dan data sejarah yang kurang lengkap.
Kalau dibandingkan dengan kimchi, acar khas Korea, di mana pemerintahnya punya catatan panjang tentang sejarahnya, berbeda dengan Indonesia. Literatur sejarah mengenai kuliner Nusantara memang sedikit sekali. Sementara, agar kuliner Indonesia diakui UNESCO, pemerintah harus punya dokumen sejarah, kajian akademis, foto-foto dan film yang lengkap mengenai asal muasalnya.
Lien mencontohkan, dua makanan khas Tanah Air seperti gudeg dan soto. Tidak ada catatan mengenai siapa yang menciptakan, kapan awal mula diciptakan dan mengapa dinamakan seperti namanya sekarang.
"Sebenarnya bukan cuma kuliner yang minim data sejarah, tapi semua Karya Budaya, dibandingkan dengan China dan Eropa yang rajin mencatat. Jadi kita kesulitan mengumpulkan data sejarahnya. Data-data yang kita dapatkan minim sekali," ujarnya.
Popularitas Meroket
Kuliner atau gaya bersantap tradisional masyarakat Indonesia, seperti nasi liwet dan liwetan mungkin memang belum diakui dunia internasional. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa keduanya telah begitu populer di Nusantara. Popularitas tradisi liwetan bahkan kian meroket setelah mengalami perkembangan kreatif. Beberapa waktu belakangan, para pelaku industri kuliner lokamulai menghidupkannya kembali.
"Itu suatu gaya marketing restoran untuk jadi lebih dikenal orang, dan karena tidak mungkin untuk makan 10 orang dengan orang lain, mereka sediakan menu untuk empat orang agar lebih ramai, lebih seru, tapi tetap memegang prinsip kebersamaan. Saya rasa itu marketing gimmick ya, suatu gaya marketing yang memunculkan suatu gaya makan yang seru, beda dari yang biasa," ucap Linda.
Ya, tradisi liwetan yang popularitasnya kian meroket dan bahkan telah menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan tak terlepas dari kejelian para pelaku industri kuliner. Mereka cukup pandai dalam mengambil suatu gaya bersantap tradisional yang dipadukan dengan tradisi makan beramai-ramai, tapi dijual di restoran.
Gaya bersantap liwetan juga sangat menguntungkan dari segi pariwisata. Menurut Linda, liwetan adalah menikmati nasi tradisional Indonesia yang bisa disantap bersama dengan cara tradisional pula, dan bisa dinikmati di restoran modern.
Ia menambahkan, ada kesenangan tersendiri saat makan seperti ini. Dari makan dengan gaya liwetan, Anda bisa menceritakan cerita lain, misalnya makan dengan gaya liwetan tidak hanya dengan nasi liwet saja. Ada tradisi lain yang juga seperti ini.
"Pelaku industri kuliner pintar milih nasi liwet (sebagai gimmick), karena itu kan cara makan nasi yang enggak biasa, dicampur-campur. Orang sudah bosan sama nasi goreng dan orang sudah mulai menghindari yang goreng-gorengan. Sementara nasi liwet kan kukus-kukusan. Saya angkat topi pada mereka dalam memilih produk yang mereka jual. Ada ceritanya, ada cooking technique yang berbeda, ada produk hasil akhir yang beda. Tinggal bagaimana mereka menjualnya," tutup Linda.
Rekomendasi restoran dan katering liwetan
Anda memang selalu bisa menyajikan nasi liwet atau masakan dengan gaya liwetan di rumah dengan memasak sendiri. Namun, jika tak mau repot, Anda bisa singgah ke sejumlah restoran yang menawarkan liwetan dengan lauk pauk yang variatif dan harga yang ramah kantong.
Salah satunya adalah restoran Satosoek di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang menawarkan menu Liwetan Sunda dengan 12 macam lauk pauk, berikut sayur mayur dan sambal. Lauknya antara lain adalah ayam goreng serundengm satai ayam, tahu dan tempe goreng, bakwan jagungm kering kentang, sayur urap, lalapan, sambal terasi dan kerupuk putih. Paket tersebut tersedia mulai dari yang diperuntukkan bagi lima orang (Rp300 ribu) hingga 30 orang (Rp1,5 juta).
Tak hanya di ibu kota, Anda juga bisa menikmati liwetan ala Sunda di restoran bergaya modern yang berlokasi di Bogor. Namanya Restoran Kluwih. Paket Nasi Liwet di sini bisa dinikmati sekitar enam hingga 10 orang. Lauk pauknya tergantung dengan harga paket yang Anda pilih. Salah satu paket seharga Rp420 ribu terdiri dari nasi liwet, tahu goreng, ikan kapas balado, cah jantung pisang, jengkol goreng dan ikan atau ayam goreng.
Kalau ingin menikmati liwetan di rumah, dengan orang-orang terdekat dengan suasana yang lebih santai, Anda juga bisa memesan katering liwetan. Nasi beserta lauk pauk, sambal, lalapan dan kerupuk, lengkap dengan alas daun pisangnya akan langsung diantar ke rumah Anda. Nanti Anda tinggal menyusun dan menata makanannya sendiri.
Katering liwetan ini sangat cocok dijadikan menu santap saat arisan atau kumpul keluarga. Bahkan acara makan di kantor pun menjadi kian seru dengan memesan katering liwetan. Beberapa katering liwetan di media sosial Instagram yang bisa menjadi pilihan adalah @catering_oma, @nasibakar_jeder dan @suapsedap. (umi)