Bubur India, Kuliner Berbuka Lintas Zaman di Semarang

Bubur India di Kampung Pekojan Semarang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id – Sebagai kota yang dihuni empat etnis besar yakni Arab, China, Eropa, dan warga pribumi, Semarang memiliki sejumlah tradisi unik, khususnya saat momentum Ramadan tiba. Salah satunya tradisi pembuatan kuliner khas yang hanya ada di bulan Ramadan.

Bubur India namanya. Makanan berbuka puasa ini kerap menjadi kerinduan tersendiri bagi warga yang lama tinggal di Kota Lumpia ini. Apalagi bubur tersebut merupakan peninggalan lintas zaman sejak ratusan tahun silam.

Seperti namanya, bubur India merupakan kuliner asli India, tepatnya di wilayah Koja yang merupakan perbatasan Pakistan-India. Namun seiring perdagangan zaman dulu, mereka yang singgah di Semarang akhirnya memutuskan memilih tinggal dan menetap di Semarang. Nama Koja inilah yang akhirnya menginspirasi nama Kampung Pekojan, kampung muslim Semarang yang berada di tengah kota.

Sejak awal ada di Semarang, bubur India memang sudah menjadi makanan khusus berbuka puasa hingga saat ini. Meski menunya sederhana, akan tetapi bubur India ini memiliki rasa yang asli dan terjaga. Dengan perpaduan bubur yang berisi daging cincang, labu, telur serta kuah santan yang khas.

Ahmad Ali, juru masak bubur India mengaku, resep bubur India didapatkan secara turun temurun mulai orangtua, kakek hingga buyutnya.

"Saya termasuk generasi keempat saudagar Koja yang jadi pembuat bubur India sejak lima tahun terakhir saat Ramadan tiba," kata Ali ditemui VIVA co.id Masjid Pekojan Semarang, Rabu, 8 Juni 2016.

Uniknya, pembuatan bubur India hanya dilakukan di Masjid Jami Pekojan Semarang oleh beberapa orang yang merupakan keturunan asli. Ali menyebut, tak mudah membuat bubur India, karena untuk mencampur sejumlah bumbu harus sangat selektif. Seperti jahe, salam, daun pandan, bawang bombay, dan campuran kayu manis dan cengkeh.

"Ada delapan bumbu khusus dan 15 kilo tepung beras. Buatnya selama tiga jam mulai pukul 13.00-16.00 WIB sore," ungkapnya.

Untuk membuat rasa bubur India menjadi khas, Ali mengaku salah satu caranya adalah dengan menggunakan tungku kayu sebagai alat memasak. Tungku dengan kayu sebagai bahan bakar ini merupakan cara memasak yang hingga kini masih dipertahankan.

"Untuk ngolah tepung beras hingga berubah menjadi bubur di tungku ini butuh waktu lama. Biasaya sampai satu jam lebih," imbuh pria 46 tahun itu.

Namun kesabaran meracik bubur inilah yang membuat khas rasa bubur India selalu dirindukan. Tungku kayu inilah yang sebenarnya membuat aroma bubur kian sedap.

"Tungku kayu tidak bau minyak dan tidak ada aroma kompor gas. Jadi rasa buburnya lebih terjaga."

Saban hari, Ali memasak tak kurang dari 200 hingga 300 mangkuk bubur untuk para jamaah yang berbuka di Masjid Pekojan. Bubur itu biasanya dimasak sejak pukul 13.00 dan dibagikan secara gratis pada pukul 17.00 atau jelang berbuka puasa. Selain dibagikan gratis, pengurus masjid Pekojan juga mempersilakan warga membawa pulang bubur tersebut untuk keluarga di rumah.

Laporan: Dwi Royanto (Semarang)