Mengenal Proses Fermentasi Alami Dalam Pembuatan Arak Bali
- VIVA/Bimo Aria Fundrika
VIVA – Jika ditilik dari sejarahnya, minuman fermentasi tradisional seperti arak Bali telah sudah sejak lama diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal Pulau Dewata. Bahkan menurut Komunitas Jalansutra Harry Nazarudin, minuman fermentasi Indonesia sendiri bisa dibilang merupakan warisan budaya turun temurun yang harus dilestarikan.
Sayangnya, banyak masyarakat Indonesia secara luas, yang justru kurang mengapresiasi produk minuman fermentasi itu sendiri. Padahal, selain karena nilai sejarah yang telah diwariskan secara turun temurun, proses pembuatan arak Bali sendiri relatif panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Lantas, seperti apa proses pembuatannya?
Dalam acara Pesona Minuman Fermentasi Nusantara, di Universitas Podomoro, Jakarta Barat, Selasa, 25 Juni 2019, VIVA menemui Nyoman Nadiana, seorang staf sebuah restoran yang juga akrab dengan pengolahan arak Bali. Nyoman mengatakan, pada dasarnya minuman fermentasi tradisional khas Bali sendiri diolah dari pohon lontar atau juga dikenal dengan pohon ental.
"Semua bahan dasarnya adalah tuak melalui proses fermentasi alami baru kemudian sebanyak 12 liter ditampung di panci dengan kayu bakar khusus. Kita pakai kayu bakar kelor yang membuat rasa araknya lebih khas," ucap Nyoman.
Panci itu kemudian dihubungkan dengan bambu sepanjang kurang lebih delapan meter dan dipanaskan selama kurang lebih dua jam. Dari hasil pemanasan itu nantinya akan menguap dan mengalir melalui bambu yang kemudian menghasilkan minuman hasil fermentasi tadi.
"Jadi dari 12 liter tadi setelah difermentasi itu hanya menghasilkan 1.200 mililiter. Di Bali kebetulan lagi menggalakkan produk lokal go internasional. Kita yakin kalau pembuatan sealami mungkin, kita yakin bagus,” kata Nyoman.
Nyoman juga mengatakan bahwa arak Bali lebih sering dibuat saat musim kemarau. Hal ini menurutnya juga sangat menentukan kualitas dari fermentasinya.
"Karena kalau hujan kandungan air di tuak banyak, jadi kualitasnya kurang baik karena banyak airnya. Ini yang menentukan kadar alkohol di dalamnya juga," kata Nyoman.
Menariknya, lanjut Nyoman, di dalam tradisi masyarakat Bali sendiri, arak bukan hanya minuman penambah semangat. Melainkan juga minuman yang wajib ketika upacara kebudayaan tertentu. Ini karena arak dianggap sebagai penetral dari berbagai hal negatif.
"Di Bali sendiri itu banyak orang di atas 45 tahun membiasakan minum satu sloki sebelum tidur, jadi mungkin analisa saya sebagai penghangat badan," kata dia.
Oleh sebab itu, ia berharap bahwa minuman fermentasi lokal Indonesia, khususnya arak makin banyak dikenal baik secara nasional maupun di kalangan internasional. (nsa)