Waspada Gejala Kanker Kepala Leher yang Sering Terabaikan
- Pixabay/Pexels
VIVA.co.id – Meskipun kanker kepala leher memiliki angka kejadian yang tinggi di Indonesia, tapi kanker ini masih belum banyak dikenal. Bahkan gejalanya sering terabaikan, tidak hanya oleh pasien, tapi juga oleh dokter.
Data Globocan tahun 2012 menunjukkan, insiden di dunia mencapai 10 persen per 100 ribu penduduk, dengan angka kematian mencapai 7 persen. Artinya, hanya tiga persen saja yang bisa selamat.
Sementara di Indonesia, angka kejadiannya mencapai 15 persen per 100 ribu penduduk, dengan angka kematian mencapai 13 persen.
Menurut dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL(K), PhD, kanker kepala leher sangat tidak diketahui karena tempatnya tersembunyi. Ini pula yang menyebabkan pasien kanker nasofaring datang sudah dalam stadium lanjut.
"Masalah mengobati kanker kepala leher ini adalah gejala awalnya yang sulit dikenali. Sering disalahartikan sebagai infeksi saluran napas atas," kata Marlinda di RSCM, Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2017.
Ada benjolan dari kanker nasofaring, lanjut Marlinda, yang seringkali tidak terdeteksi. Biasanya benjolan ini muncul di bawah telinga, yang dianggap tiroid. Atau, pada wanita yang berjilbab, benjolan ini tidak disadari.
Selain itu, terdapat lesi atau luka di lidah yang dianggap sebagai sariawan biasa.
"Ada benjolan dianggapnya hanya infeksi saluran napas atas. Pilek, dianggapnya rinitis alergi," kata Marlinda.
Di samping itu, masalah lain yang dihadapi dalam penanganan kanker ini juga datang dari keluarga. Ketika pasien didiagnosis kanker dan harus biopsi, keluarga besar akan berunding dan memengaruhi keputusan berobat pasien.
Ketakutan pasien menghadapi kenyataan bahwa ia mengidap kanker juga jadi penghambatan penanganan kanker. Dokter pun juga bisa berpengaruh karena bisa saja melakukan kesalahan penilaian.
"Jarak tempat pengobatan yang jauh, dan banyak munculnya pengobatan alternatif, juga menjadi kendala. Jadi harus benar informasi yang didapat," kata Marlinda.
Ketika kanker sudah dioperasi atau sudah hilang, seringkali pasien juga malas mengontrol ke rumah sakit. Sehingga, risiko kambuh menjadi tinggi. Kanker kepala leher ini memiliki risiko kambuh 30 persen.
Asuransi atau BPJS juga menjadi hambatan lain penanganan kanker kepala leher. Pasien BPJS biasanya hanya diberikan satu kali pemeriksaan satu minggu.