Merokok Sejak Muda, Waspada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
- Pixabay/OpenClipart-Vectors
VIVA.co.id – Penyakit Paru Obstruktif Kronik, atau PPOK, merupakan penyakit yang menyerang paru-paru untuk jangka waktu yang panjang. Faktor risiko penyakit ini pun banyak terdapat di sekitar kita, seperti polusi udara dan yang terbanyak adalah merokok.
Menurut dr. Dianiati Kusumo Sutoyo, SpP(K), anggota Kelompok Kerja Asma dan PPOK dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), berbeda dengan asma yang memiliki gejala fluktuatif dengan variabilitas tinggi, PPOK memiliki perjalanan penyakit yang lambat namun terus meningkat.
"Sehingga, onsetnya sering di usia tua, terkait pajanannya juga yang butuh waktu lama. Tetapi, kalau sekarang sudah merokok dari SMP atau SMA, tidak usah menunggu usia 40 tahun, dia sudah bisa kena PPOK," kata dokter yang disapa Titi itu kepada VIVA.co.id baru-baru ini.
Jika sudah terkena PPOK, akan terus terjadi perburukan dan perburukan karena laju perburukannya lebih cepat dari normal.
Umumnya penyakit ini memang dilakukan deteksi pada usia 40 tahun ke atas, tapi jika dilihat dari kebiasaan merokok masyarakat yang sudah dimulai usia muda, usia 30 tahun pun bisa terjadi PPOK. Tentu saja, rerokok di usia 50 atau 60 tahun risikonya lebih tinggi lagi.
PPOK, jelas Titi, memiliki gejala utama sesak napas. Gejalanya progresif, terutama yang punya riwayat faktor risiko seperti merokok. Pada stadium satu, biasanya PPOK tidak menunjukkan gejala, mereka bisa sama dengan orang normal. Hanya saja ketika dilakukan pemeriksaan, paru-parunya sudah mengalami penyempitan saluran napas yang menetap.
Pada stadium dua, mulai terjadi gejala yakni infeksi yang berulang. Banyak pasien yang datang di layanan kesehatan pada stadium ini, tetapi sayangnya yang terobati hanya infeksinya saja, sedangkan PPOK-nya terabaikan.
Tidak tertanganinya PPOK secara tepat ini membuat penyakit semakin tertunda pengobatannya sehingga terus meningkat menjadi stadium lanjut. Pada stadium tiga sudah terjadi keluhan yang dirasakan meski belum merasa sesak napas.
"Dia mulai membatasi kegiatannya, dari yang biasanya berolahraga dia kurangi intensitas olahraganya sampai dia merasakan betul sesak napas," kata Titi.
Jika sudah memasuki stadium empat, PPOK sudah terjadi komplikasi yang mengenai sistem, atau organ lain seperti jantung. Peradangan pada PPOK pun sifatnya menyebar, tetapi bisa juga terjadi secara bersamaan di saluran pernapasan dan pembuluh darah. Karenanya, timbul pula penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan koagulasi darah dan lainnya.
Komplikasi nomor satu pada PPOK, menurut Titi, adalah gagal napas akut yang bisa mengancam kehidupan. Dalam kesehariannya, pasien juga bisa jatuh dalam gagal napas kronik, artinya paru-paru tidak mampu mengambil oksigen atau membuang CO2. Ini juga bisa mengganggu produktivitas pasien dan menjadi beban keluarga.
Selain itu, PPOK juga bisa menyebabkan komplikasi gangguan kardiovaskular, hipertensi, gagal jantung, aritme jantung dengan tingkat mortalitasnya masing-masing. Komorbid, atau komplikasi lainnya adalah osteoporosis, reflux atau asam lambung, fibrosis paru, ganguan kognitif karena aliran darah dan oksigensiasi berkurang. Pasien juga berisiko tinggi untuk terkena stroke.