Trauma Masa Kecil Bisa Menetap Hingga Usia 50 Tahun

Ilustrasi stres.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Sejumlah ahli mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi masa anak-anak dapat menimbulkan luka jangka panjang, sehingga merusak cara pandangnya terhadap dunia.

Di lain sisi, mengalami tindak kekerasan mampu merusak fungsi otak dengan sendirinya ketika memasuki usia 50-an.

Meski hubungan yang kita bentuk saat remaja membantu kita untuk berkembang, tapi jika hubungan itu bersifat merusak, maka akan berpengaruh negatif pada sisa hidup kita.

Dilansir laman The Independent, penelitian menunjukkan bahwa trauma yang dialami anak mulai dari kekerasan seksual, perceraian orangtua, hingga perilaku buruk orangtua bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, depresi, dan diabetes di usia lanjut.

Selain itu, trauma ini juga dapat meningkatkan risiko penyakit perilaku seperti merokok atau sering berganti-ganti pasangan, dan bahkan dapat menurunkan harapan hidup.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa anak-anak yang mengalami trauma, dengan enam atau lebih pengalaman buruk saat anak-anak, meninggal 20 tahun lebih cepat dibandingkan mereka yang tidak pernah trauma.

Begitu pula dengan pengaruh fisik, pengalaman buruk ini juga dapat meningkatkan risiko kesehatan psikologis yang buruk ketika dewasa.

Menurut yayasan anti kekerasan Australia Blue Knot Foundation, anak-anak yang mengalami trauma seringkali mereka tumbuh menjadi orang yang tidak percaya dengan orang lain. Hal ini akibat mereka merasa dikhianati oleh orang dewasa yang seharusnya merawat dan melindungi mereka.

Hal yang sama yang diungkapkan sebuah penelitian yang meneliti lebih dari 21.000 orang yang pernah mengalami kekerasan pada masa kecil yang berusia 60 tahun lebih di Australia mengungkapkan angka kegagalan pernikahan dan hubungan yang tinggi. Mereka cenderung menilai diri mereka dengan 'tidak bahagia sekali' atau 'sangat tidak bahagia'.

Masalah lainnya yang timbul pada orang yang punya pengalaman trauma masa kecil, cenderung mengalami depresi, kecemasan, penyalahgunaan obat dan alkohol, kecanduan judi dan belanja, dan kepercayaan diri yang rendah.

Meski demikian, terdapat sejumlah terapi dan alat yang diketahui dapat menolong para penderita trauma seperti meditasi dan terapi perilaku kognitif.