Trauma Pascabencana Bisa Sembuh, Tapi Tak Bisa Hilang

Ilustrasi trauma
Sumber :
  • pixabay/Lucken

VIVA.co.id – Peristiwa traumatis yang mengancam jiwa seperti peristiwa bencana alam, perkosaan, atau pertempuran di medan perang dapat meninggalkan pengalaman menakutkan yang berpotensi menyebabkan gangguan jiwa.

Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri, Dr. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K) memaparkan, di dalam otak manusia, ada suatu organ yang dinamakan amigdala. Amigdala merupakan sistem limbik yang memvalidasi atau menangkap stresor atau peristiwa katastropik yang dialami.

"Tanpa diproses lagi, amigdala langsung menangkap peristiwa ini. Kemudian peristiwa itu akan tersimpan dalam hipocampus dan akan tersimpan sangat lama. Jadi, dia tidak akan bisa melupakan peristiwa itu karena tersimpan sangat dalam," kata Nurmiati saat konferensi pers Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Kantor PDSKJI, Jakarta, Senin, 10 Oktober 2016.

Amigdala ini seperti pemancar yang mengirim sinyal ke berbagai penjuru. Misalnya, amigdala mengirim sinyal ke batang otak sehingga terjadi peningkatan denyut jantung dan pembuluh darah perifer mengecil sehingga orang menjadi pucat.

"Respons takut ini bisa mempengaruhi organ juga memicu hormon stres. Sehingga bisa menyebabkan stroke atau (serangan) jantung juga. Bisa juga ke pernapasan, napasnya menjadi kencang," uajr Nurmiati menambahkan.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penanganan pada Post Traumatic Disorder (PTSD) atau trauma pascabencana dapat dilakukan dengan terapi obat. Obat ini untuk mengatasi kelainan otak karena terjadi ketidakseimbangan kimia pada otak orang yang mengalami PTSD. Sehingga yang diperbaiki adalah kognitifnya.

"Kalau dia sudah recovery, ada instrumen untuk mengukur apakah PTSD-nya sudah tidak ada lagi. Peristiwa itu tidak akan hilang dari ingatannya, tapi dia sudah bisa menerima. Jantung tidak berdebar lagi, tidak takut. Ketika ingatan itu muncul lagi, tidak mengalami mual, tidak lagi ada bayangan yang intrusif," kata Nurmiati.