Pendidikan Indonesia Batasi Interaksi Siswa dan Masyarakat
- Pixabay/White77
VIVA.co.id – Terciptanya kerukunan dan toleransi terhadap perbedaan di Indonesia yang penuh dengan keberagaman dimulai dari pendidikan di ruang sekolah.
Pendidikan bisa menjadi gerbang untuk menanamkan nilai toleransi untuk memelihara perbedaan.
Namun demikian, menurut Ahmad Suaedy, M.A. dari Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia mengungkapkan, dari sebuah riset mengenai intoleransi dalam sekolah ditemukan bahwa ternyata sekolah agama, baik itu Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya, cenderung memiliki intoleransi yang lebih tinggi.
"Sudah terbentuk kecurigaan terhadap agama lain. Sehingga tercipta keengganan untuk menerima agama berbeda sebagai tetangga," kata Suaedy dalam acara Kopi Darat (Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat) di FX Sudirman, Jakarta, Rabu, 14 September.
Dari temuan ini, Suaedy menambahkan, ada tiga hal penting yang perlu direfleksikan. Yang pertama adalah adanya kecenderungan pendidikan di Indonesia yang pada umumnya mengeksklusifkan diri.
Yakni di mana para siswa ditarik dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam kelas sehingga mereka seperti dibatasi hubungannya dengan masyarakat. Padahal ilmu yang diturunkan kepada mereka itu diambil dari Amerika, Eropa, Timur Tengah.
“Tapi, kalau pendidikan itu mengurung anak dari pergaulan sosial, itu menjadi masalah," kata Suaedy.
Terutama dalam pendidikan agama di mana praktik agama dipotong dari masyarakat. Sementara di dalam lingkungan ada tradisi hidup bersama, tradisi agama, dan tradisi lainnya yang perlu dipelajari tapi dianggap tidak ilmiah karena narasumbernya tidak sekolah di luar negeri.
Suaedy mengatakan, bahwa seharusnya pendidikan di Indonesia harus lebih mementingkan local knowledge ke dalam pengajaran mereka.
"Dahulu kiai di pesantren yang memiliki sawah akan menyerahkan sebagian penggarapannya pada masyarakat dan santri. Sehingga ada kerja sama antara santri dengan masyarakat, ada tradisi panen, tandur. Ada bagian dari ritual masyarakat dan agama juga. Sekarang hal ini hampir tidak ada. Lingkungan masyarakat santri sekarang adalah media sosial," ujar Suaedy