Mengubah Paradigma Perawatan Paliatif Pada Penyakit Kronik

Ilustrasi/Petugas kesehatan
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Hampir setiap keluarga pasti pesimis ketika, seorang anggota keluarganya didiagnosa mengidap penyakit serius. Terlebih lagi jika harus menjalani perawatan paliatif.  

Menurut stereotipe yang ada di masyarakat, jika si pasien harus menjalani perawatan paliatif itu artinya bahwa pasien mengidap penyakit serius dan tidak dapat diobati oleh pengobatan medis apa pun. Karena itu, banyak yang menganggap bahwa perawatan paliatif adalah perawatan menjelang kematian, atau persiapan menjelang kematian.

Namun, menurut dr Edi Setiawan Tehuteru, Sp. A(K), MHA, IBLC, Anggota Staf Medik Fungsionam Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada seminar awam, yang digelar di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, Senin, 22 Agustus 2016, menyangkal paradigma mengenai perawatan paliatif yang beredar di masyarakat selama ini. Menurutnya paradigma tersebut harus diubah.

"Sekarang coba kita edukasi ke masyarakat kita yang masih asing di telinga kita, jadi kesannya sudah masuk paliatif artinya saya mati. padahal sekarang waktu pelayanannya sudah berubah," katanya.

Edi menambahkan bahwa perawatan paliatif adalah perawatan total dan menyeluruh mulai dari badan, pikiran, semangat, dan juga memberikan dukungan terhadap keluarga pasien. Perawatan paliatif ini dimulai ketika sebuah penyakit didiagnosa.

Ia mencontohkan misalnya saja penyakit kanker, sejak stadium perawatan paliatif bisa saja diberikan kepada pasien tersebut.

"Jadi tidak benar pasien yang sudah masuk kategori paliatif berarti sebentar lagi mati, jadi sekarang  stadium satu sudah di paliatif tapi untuk manajemen gejala," jelas Edi.

Ia juga menambahkan bahwa dalam perawatan paliatif bukan hanya faktor fisik yang harus diperhatikan, tetapi juga psikologis, spritual dan sosial. Sebab itu perawatan paliatif yang efektif membutuhkan pendekatab multi disiplin, dan bukan hanya berfokus pada pasien, tapi juga keluarga yang mendukung.

Jadi, Edi menekankan, bahwa paliatif itu yang terpenting adalah komunikasi dan menyiapkan yang terbaik untuk pasien. "Jadi misalnya pasien dengan usia 82 tahun, tidak perlu lagi di kemoterapi, berikan saja yang terbaik yang ia inginkan. Agar bisa melepaskan dengan cara yang baik," kata Edi.

(ren)