Resep Masyarakat Perkotaan Melawan Stres

Ilustrasi stres.
Sumber :
  • Pixabay
VIVA.co.id - Tinggal di hutan beton seperti Jakarta, tentu mengharuskan setiap orang yang tinggal di dalamnya memiliki daya tahan fisik dan mental super kuat. Karena jika tidak, berbagai tekanan hidup bisa menghimpit dan lama-lama menghancurkan.

Salah satu problem sosial yang banyak menimpa kaum urban adalah stres. Ya, tingkat gangguan emosional orang di kota besar kian hari meningkat dan kondisinya semakin mengkhawatirkan.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebut, 6 persen masyarakat Indonesia berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Prevalensi tertinggi ada di Sulawesi Tengah, sebesar 11,6 persen. Tak hanya itu, riset yang sama juga menyebut sekitar 3 dari setiap 1.000 penduduk DIY mengalami gangguan kejiwaan.

Jika tak kuat-kuat bertahan, akan ada banyak orang stres di kota besar. Hal ini pula yang dirasakan Sonny Indosatrio, 26 tahun, karyawan swasta yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, namun harus berkantor di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

"Tiap hari lumayan stres sih, ya pemicunya banyak. Mulai dari perjalanan jauh ke kantor, belum lagi ditambah macet. Nah, kalau lagi banyak pekerjaan seperti sekarang, pastinya tingkat stres bertambah," ujar staf Marcom sebuah perusahaan media di Jakarta itu.

Sonny mengaku, kehadiran keluarga, pacar, dan sahabat, sangat penting untuk mengurangi tekanan emosional yang ia rasakan. "Kalau keluarga, mereka tahu bagaimana kehidupan kita, jadi menerima apa adanya. Nah kalau pacar, pastinya bisa jadi teman senang-senang untuk menghilangkan stres," ujarnya.

Pemicu Stres

RA Oriza Sativa, psikolog klinis sekaligus seorang Mental Health Educator menjelaskan, stres adalah respons negatif yang dirasakan seseorang akibat tekanan yang ada di luar batas kemampuan diri. Umumnya, stres yang menimpa masyarakat perkotaan dipicu isu kemacetan, polusi udara, tekanan ekonomi, persaingan karier, dan ambisi.

"Macet membawa andil besar, karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Bayangkan saja, orang yang terjebak macet berjam-jam, tentunya akan mengalami kerugian uang, belum lagi kalau terlambat hadir di rapat penting, bisa diomeli atasan. Hal-hal semancam ini yang menimbulkan kecemasan berlebih, kemudian stres," ujar Oriza.

Stressor lingkungan, seperti polusi udara atau sekarang terjadi bencana kabut asap, bisa menyumbang tekanan gejolak emosional juga ke manusia. Sementara itu, tekanan ekonomi terus menggerogoti akibat semua cicilan dan utang harus tetap dibayar, maka wajar jika kemudian banyak orang urban menderita gangguan emosional.

Karier yang mentok, ketidakpuasan terhadap kebijakan kantor, bisa pula menjadi memicu timbulnya gangguan kejiwaan ringan. Solusinya, dijelaskan Oriza, kita boleh saja punya ambisi di kantor, namun jangan sampai berlebihan. Harus disesuaikan kemampuan, sehingga tidak ada tekanan mental yang menghantui.