Miris, 85 Persen Pasien Cuci Darah Ada di Rentang Usia Produktif

Ilustrasi penyakit ginjal/sakit pinggang.
Sumber :
  • Freepik/wayhomestudio

Jakarta, VIVA – Berdasarkan data BPJS Kesehatan, cuci darah dinyatakan sebagai tindakan dengan biaya terbesar keempat pada pengeluaran BPJS dengan pengeluaran tahun 2023 sebesar Rp2,9 triliun.

Fakta lainnya, sebanyak 85 persen pasien cuci darah ada di rentang usia produktif, menyebabkan tingginya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan jika pasien gagal ginjal tidak terjaga quality of life-nya. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!

Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat, menjelaskan, hemodialisa atau cuci darah adalah prosedur rutin seumur hidup yang dilakukan 2-3 kali seminggu oleh pasien gagal ginjal kronis di tahap 5 (End Stage Renal Disease) yakni fungsi ginjal sudah sangat rendah atau kurang dari 15 persen. 

“Ini merupakan sebuah prosedur di mana mesin dialisis dan dialyzer digunakan untuk membersihkan darah. Dokter membuat akses ke pembuluh darah, biasanya melalui operasi minor di lengan, untuk mengalirkan darah ke dalam dialyzer yang berfungsi sebagai ginjal buatan,” ujar Yvone saat media gathering di Kalbe Business Innovation Center, Jakarta Timur, baru-baru ini. 

Dialyzer sendiri merupakan bahan habis pakai (consumables) penting dalam tindakan hemodialisis atau cuci darah. Sebanyak 99 persen pasien cuci darah dijamin oleh BPJS, dan kebutuhan hemodialisis di Indonesia meningkat setiap tahunnya. 

Dari 267 juta jumlah populasi Indonesia, sebanyak 1,5 juta orang merupakan pasien gagal ginjal kronis dengan 159 ribu orang menjalani cuci darah. Oleh karena itu, penyediaan alat dialyzer berkualitas diperlukan. 

Dengan adanya produk lokal dialyzer, akan memastikan pemanfaatan dana BPJS tidak hanya untuk akses kesehatan bagi pasien gagal ginjal, tetapi juga untuk mendukung industri alkes lokal dan memastikan dana tersebut menggerakkan ekonomi dalam negeri. 

Selain itu, dialyzer produksi dalam negeri dapat membantu mempermudah dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia. 

“Produksi lokal dialyzer menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman internasional, sehingga harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis menjadi lebih aksesibel bagi pasien dan fasilitas kesehatan. Selain itu, produksi lokal dialyzer juga mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” jelas Yvone.

Dialyzer RenaCare merupakan salah satu produksi lokal yang sudah menggunakan komponen lokal dengan estimasi nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) lebih dari 40 persen. 

Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Kartika Setiabudy, mengatakan, melalui penyediaan fasilitas produksi Dialyzer RenaCare di dalam negeri oleh Kalbe melalui Forsta, bertujuan untuk terus meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat khususnya untuk membantu pasien ginjal di Indonesia. 

“Forsta berhasil membangun fasilitas produksi Dialyzer yang menjadikan Forsta sebagai perusahaan pertama di Indonesia dan nomor dua di ASEAN yang memiliki fasilitas produksi dialyzer. Dialyzer juga telah meraih sertifikasi CPAKB (Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik) dari Kementerian Kesehatan,” paparnya.