Tekan Angka Kematian Bayi, Cegah Infeksi Virus RSV Diminta Jadi Prioritas Pemerintah
- Pixabay/ joffi
VIVA Lifestyle – Neonatologi, Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) mengingatkan bahwa pentingnya bagi Pemerintah berupaya meningkatkan awareness, pencegahan, diagnosis, dan treatment (supportive) akan kasus Respiratory Syncytial Virus (RSV) di Indonesia.
RSV sendiri merupakan virus yang dapat menyebabkan infeksi paru-paru dan saluran pernapasan. Jenis virus ini sangat rentan menyerang anak-anak yang berusia di bawah dua tahun. Meski begitu, virus ini juga dapat menyerang orang dewasa. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!
"Untuk diketahui, dalam salah satu studi multicentre tahun 2022 terkait epidemiologi community-acquired pneumonia (CAP) di Indonesia, RSV menjadi satu dari lima pathogen utama yang ditemukan," ujar Prof. Rinawati dalam keterangannya, dikutip Senin 1 Juli 2024.
Temuan ini menyebutkan bahwa kasus RSV di Indonesia mencapai 27,1 persen dan menempati urutan ke-2 penyebab CAP pada anak usia di bawah 5 tahun. Bahkan pada kasus mix infection maupun single infection akibat virus, RSV merupakan pathogen yang sering ditemui di studi ini.
Berdasarkan salah satu review literatur sistematik, laju insidensi Lower Respiratory Tract Infection (LRTI) atau infeksi saluran napas bagian bawah akibat infeksi RSV di Indonesia sebesar 50,1 per 1000 anak per tahun dengan jumlah kejadian sebanyak 1.245.1852. Di mana insidensi dan proporsi infeksi RSV yang mengakibatkan LRTI dan LRTI berat itu lebih banyak terjadi pada kelompok usia < 1 tahun.
"Merujuk data dari empat penelitian lokal secara terpisah juga menunjukkan kalau ini adalah virus yang muncul setiap tahun. Di mana kasus puncaknya terjadi pada minggu 48 (Awal Desember) hingga minggu 16 (Akhir Maret). Namun, para ahli masih yakin ini akan mengikuti flu yang berlangsung sepanjang tahun," tuturnya.
Menurut Prof Rinawati, faktor risiko utama untuk infeksi RSV parah adalah pada bayi prematur dan bayi jangka panjang dengan kelainan CP (Celebral Palsy). Di mana ada 2,02 persen insiden bayi prematur berisiko tinggi yang lahir dengan ID RSV.
"Adapun mortalitas pada bayi prematur berisiko tinggi hingga 3 persen sedangkan mortality rate COVID pada anak-anak adalah 0,4 persen. Ini artinya risiko terkena RSV lebih tinggi bagi bayi prematur. Sedangkan Indonesia adalah 5 negara teratas di dunia yang memiliki kelahiran prematur – risiko tinggi," ungkapnya.
Prof Rina memaparkan bahwa banyak kejadian LRTI seperti pneumonia dan bronkiolitis yang dicurigai disebabkan oleh RSV. Namun terkadang ini tidak terdeteksi secara optimal karena terbatasnya akses tes diagnostik untuk memeriksa keberadaan virus RSV.
"Maka sangat penting infeksi RSV menjadi perhatian pemerintah, terutama untuk mencegah beban penyakit kematian dini bayi dengan risiko tinggi yang diakibatkan pneumonia akibat infeksi RSV," tegasnya.
Dalam hal ini, Prof Rina juga menyebut kalau pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya penyakit yang disebabkan oleh RSV pun umumnya masih rendah, termasuk orangtua dengan anak yang berisiko tinggi terhadap RSV. Salah satu parameter yang mudah diukur adalah dengan melihat Google Trend di Indonesia dengan kata kunci “infeksi RSV” dan “Pneumonia” sebagai salah satu outcome dari RSV.
“Bisa dilihat bahwa masih sedikit masyarakat yang mengaitkan RSV dengan Pneumonia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terbatasnya informasi yang bisa diakses dan kurangnya kampanye edukasi publik terkait infeksi RSV,” jelasnya.
Prof Rina mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada pengobatan definitif untuk infeksi RSV (hanya terapi suportif). Maka itu, pencegahan merupakan upaya yang paling penting untuk dilakukan. Urgensi mengenai pencegahan infeksi RSV perlu dilakukan, terutama untuk pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi RSV yang berat. Menurutnya, Pemerintah harus berupaya meningkatkan awareness, khususnya untuk pasien dengan risiko tinggi dan juga dampak jangka panjang yang ditimbulkan.
"Hal ini bisa berupa kampanye disease awareness, dan juga edukasi berkelanjutkan dari segara lapisan pemangku kepentingan, baik tenaga medis (dokter), masyarakat, pemerintah, dan lainnya,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Prof Rina, pemerintah juga dapat berupaya untuk meningkatkan akses diagnostik untuk pemeriksaan virus, khususnya RSV. Sehingga kasus LRTI akibat RSV bisa diketahui dengan optimal, sehingga baik dokter maupun orangtua aware bahwa virus RSV ini berdampak.
“Selanjutnya, upaya dari segi treatment (suportif treatment). Memastikan bahwa pasien yang mengalami dampak parah akibat RSV dapat tertangani dengan baik,” imbuhnya.
“Pada bayi prematur dan kelompok risiko tinggi lainnya, selain membatasi penularan dan penyebaran RSV dengan perilaku hidup bersih dan sehat, perlu dipertimbangkan pemberian imunoprofilaksis atau profilaksis/pencegahan menggunakan antibodi monoklonal spesifik RSV (Palivizumab)," tambahnya.
Penggunaan mAb menurut Prof Rina, spesifik untuk mencegah RSV ini sudah diterapkan di negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Australia, Jepang dan lainnya. Kemudian untuk tetap memproteksi dari bahaya pneumonia, dapat dilanjutkan dengan vaksin lainnya, sesuai jadwal Imunisasi yang ada.
RSV sendiri merupakan infeksi yang utamanya menyerang sistem pernapasan, menyebabkan berbagai gejala mulai dari gejala ringan seperti flu hingga gangguan pernapasan yang lebih parah, terutama pada populasi rentan seperti bayi, anak kecil, dan orang dewasa lanjut usia.
RSV sangat menular dan menyebar terutama melalui tetesan pernapasan. Ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, tetesan kecil yang mengandung virus dapat terlepas ke udara dan kemudian terhirup oleh orang lain. Virus ini juga dapat bertahan hidup di permukaan benda selama beberapa jam, sehingga penularan tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan permukaan benda yang terkontaminasi.