Berkaca pada Insiden Singapore Airlines, Ini Alasan Turbulensi Pesawat Bisa Picu Kematian

Pesawat Singapore Airlines
Sumber :
  • Singaporeairlines.com

VIVA Lifestyle – Maskapai Singapore Airlines dengan rute London – Singapura dilaporkan mengalami turbulensi parah pada Selasa 21 Mei 2024. Berdasarkan situs pelacakan penerbangan FlightAware, pesawat tiba-tiba terjun dari ketinggian 37 ribu ke 31 ribu kaki dalam 5 menit.

Turbulensi itu terjadi setelah 10 jam penerbangan atau tepatnya di cekungan Irrawaddy Myanmar. Turbulensi parah itu menyebabkan 1 orang tewas dan menyebabkan 30 orang lainnya terluka. Pilot menyatakan keadaan darurat medis dan mengalihkan pesawat untuk mendarat darurat di Bangkok, Thailand. Scroll untuk info lengkapnya. 

“Turbulensi di penerbangan sering terjadi. Namun hal ini biasanya tidak berbahaya, tapi dalam kasus yang jarang turbulensi bisa menyebabkan kematian,” kata Fisikawan di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat, Larry Cornman, dilansir NBC News, Rabu 22 Mei 2024. 

Keadaan Saat Singapore Airlines Turbulensi (Doc: X)

Photo :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Di sisi lain, Dewan Keselamatan Transportasi Nasional mengungkap dari jutaan penerbangan, turbulensi telah menyebabkan 185 cedera serius dari tahun 2019 hingga 2023.

Badan tersebut, yang mewajibkan maskapai penerbangan untuk melaporkan cedera dan kematian, mengkategorikan cedera serius sebagai cedera yang memerlukan rawat inap lebih dari dua hari; melibatkan organ dalam apa pun; atau mengakibatkan patah tulang, luka bakar tingkat dua atau tiga, pendarahan hebat, atau kerusakan saraf, otot, atau tendon.

Dari data insiden yang dilaporkan sepanjang 2009 hingga 2022, sedikitnya 129 awak kabin dan 34 penumpang mengalami luka-luka.

Di sisi lain, terkait kematian akibat turbulensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari serangan jantung atau cedera kepala, jika kepala penumpang pesawat membentur langit-langit atau tertimpa bagasi yang jatuh.

"Apa pun yang dapat menyebabkan kematian di darat pasti dapat menyebabkan kematian di dalam pesawat pada ketinggian 35 ribu kaki. Pesawat angkut besar ini dibuat dengan cukup kuat. Mereka tidak akan hancur atau lepas dari langit karena turbulensi," kata Cornman. 

Cornman menambahkan bahwa penumpang yang mengenakan sabuk pengaman akan tetap aman selama berada di atas udara.

Presiden Asosiasi Pramugari-CWA, Sara Nelson mengatakan laporan awal tampaknya menunjukkan bahwa penerbangan Singapura mengalami clear air turbulence, yaitu jenis turbulensi yang paling berbahaya karena tidak dapat dilihat dan hampir tidak dapat dideteksi dengan teknologi saat ini.

"Satu detik, Anda melaju dengan lancar. Selanjutnya, penumpang, awak kabin, dan trolley tanpa pengaman atau barang lainnya berhamburan ke sekitar kabin," kata dia.

Nelson dan sekelompok peneliti mengatakan insiden clear air turbulence sulit diperkirakan dan dihindari, karena tidak terkait dengan badai sedang meningkat akibat perubahan iklim. 

Sebuah studi tahun 2023 yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters menemukan bahwa clear air turbulence meningkat lebih dari 50 persen di Samudra Atlantik Utara dari tahun 1979 hingga 2020.

Peningkatan turbulensi kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim terhadap kecepatan angin di lapisan atas atmosfer, demikian temuan para peneliti. Beberapa peningkatan clear air turbulence yang paling nyata dalam beberapa dekade terakhir terjadi di wilayah garis lintang tengah, termasuk di Atlantik Utara dan rute penerbangan di Amerika Serikat.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global mungkin menyebabkan ketidakstabilan pada jet stream, sebuah ban berjalan di udara yang bergerak cepat yang mengelilingi bumi di belahan bumi utara,” ujar Mark Prosser, salah satu penulis penelitian dan peneliti doktoral di University of Reading di Inggris. 

“Aliran jet, yang mengalir seperti sungai udara dari barat ke timur, dipicu oleh perbedaan suhu antara wilayah yang lebih dingin di utara dan massa udara yang lebih hangat di selatan. Perubahan iklim mungkin mengganggu aliran jet, yang bisa berdampak besar pada perjalanan udara di masa depan,” ungkap Prosser.

"Pesawat suka terbang dengan aliran jet, tetapi ironisnya, tempat yang suka terbang juga merupakan tempat terjadinya turbulensi," imbuhnya.