Masih Sebatas Uji Hewan, IDI: Belum Ada Kesepakatan Ilmiah Tentang Bahaya BPA pada Manusia
- Pixabay.
JAKARTA – Hinggi kini belum ada satu negara pun yang sudah melakukan uji bahaya Bisfenol A (BPA) terhadap manusia. Semua uji cobanya baru dilakukan terhadap hewan percobaan dan itupun secara in vitro, sehingga tidak bisa dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda.
Hal itu disampaikan salah satu anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Karin Wiradarma, Sp.GK. SMF di acara peluncuran buku “BPA” yang diadakan di Jakarta baru-baru ini. Dijelaskan dokter Karin, beberapa studi di luar negeri menyebutkan bahwa BPA diduga sebagai endokrin disruptor yang bisa mengganggu hormon estrogen yang bisa menyebabkan kanker ovarium, kanker payudara dan kanker prostat. Scroll untuk informasi selengkapnya.
Tapi, menurutnya, itu BPA yang masih aktif. Sementara sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia itu secara cepat akan dimetabolisme oleh hati menjadi BPA tidak aktif dan tidak bisa lagi mengakibatkan efek endokrin ataupun estrogen seperti yang ditakutkan.
“Jadi, yang berbahaya itu adalah BPA aktif. Sementara, sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia itu akan dimetabolisme di dalam hati menjadi tidak aktif dan akan dibuang melalui urine maupun feses,” ujarnya.
Beberapa studi di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA itu telah menyebabkan gangguan perkembangan saraf anak, menurut Dokter Spesialis Gizi Klinik ini, mereka juga menggunakan hewan percobaan.
“Uji coba itu masih dilakukan terhadap hewan percobaan dan belum ke manusia. Itu tidak bisa dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda,” ungkapnya.
Begitu pula dengan studi lain di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA sebagai penyebab terjadinya obesitas dan penyakit kardiovaskular, kata dr. Karin, itu juga masih menggunakan hewan percobaan. Menurutnya, studi tersebut menyebutkan BPA memiliki efek yang sama seperti estrogen, dan bisa memengaruhi sistem endokrin yang bisa memengaruhi metabolisme gula.
Akibatnya, bisa terjadi resistensi insulin bahkan bisa membuat diabetes dan penyakit jantung pembuluh darah serta tekanan darah tinggi. Tapi, faktanya adalah tetap saja studi itu hanya dilakukan pada hewan coba maupun in vitro.
“Jadi, di laboratorium dan studi pada manusia sendiri masih terbatas, dan itu derajatnya masih studi observasional atau pengamatan. Studi tersebut juga dilakukan masih tidak seragam berdasarkan metodologinya. Kriteria eksklusinya dan skornya nilainya masih rendah karena masih belum seragam, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan yang valid mengenai hubungan kausalitasnya,” kata dr. Karin.
Mengenai studi yang mengatakan BPA sebagai penyebab terjadinya infertilitas bagi perempuan, menurut dr.Karin, studi ini tidak signifikan. Karena, menurutnya, banyak sekali faktor-faktor lain yang memicu infertilitas.
“Penyebab infertilitas bagi perempuan ini belum digali lagi secara mendalam. Jadi, masih belum dapat ditemukan hubungan kausalitasnya dan belum bisa disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara BPA dengan infertilitas pada wanita,” tukasnya.
Juga studi yang menyebutkan BPA pada wanita hamil bisa mengakibatkan kelahiran prematur, menurut dr. Karin, studi tersebut juga belum konklusif.
“Karena jumlah sampelnya saja masih sangat terbatas. Jadi, penelitian ini masih belum memastikan hubungan kausalitas,” tuturnya.
Dia menuturkan untuk membuktikan BPA telah membahayakan kesehatan manusia atau bukan bisa dilakukan dengan studi Kohort, yang dilakukan terhadap manusia langsung.
“Studi ini di mana kita mengikuti dari mulai terpapar hingga timbul penyakit dan semuanya. Tapi, kalau hanya mengamati saja tapi tidak melakukan eksperimen berikutnya yang lebih kuat lagi, itu belum bisa memastikan hubungan kausalitasnya,” ucapnya.
Tapi, lanjutnya, yang harus dilakukan untuk benar-benar bisa membuktikan BPA itu memang benar-benar berbahaya di dalam tubuh manusia adalah studi eksperimen.
“Jadi, kita benar-benar melakukan percobaan, ada yang acak maupun yang tidak acak. Kalau acak tentunya akan lebih kuat karena tidak ada bias-biasnya,” ujarnya.
Dan yang paling tinggi lagi menurutnya adalah dengan melakukan critical appraisal.
“Jadi, orang sudah melakukan penelitian dan kita me-review lagi atau mengkritisi kembali dari beberapa hal yang dinilai dari penelitian tersebut, apakah penelitian itu sahih, valid dan kuat,” tukasnya.
Mengakhiri paparannya, dr. Karin menekankan bahwa penggunaan BPA pada kemasan makanan masih dinyatakan aman oleh berbagai badan dunia termasuk Indonesia. Mengenai efek negatif pada kesehatan yang selama ini sudah banyak isunya di masyarakat, menurutnya, itu belum terbukti kebenarannya.
“Karena, kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan desain lebih baik dan ideal untuk bisa menemukan hubungan kausalitasnya. Sampai saat ini memang belum ada penelitian dengan desain yang ideal dan kuat yang menemukan hubungan kausalitas tersebut. Sampai saat ini semua masih berupa penelitian di hewan coba maupun penelitian observasional,” katanya.