Soal Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia, Ahli: Bukan Rekayasa Genetik

Nyamuk bionik Wolbachia
Sumber :
  • VIVA

JAKARTA – Teknologi nyamuk ber-wolbachia untuk mengendalikan Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah diimplementasikan di beberapa kota.

Pengajar dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof dr Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D, mengatakan, kebijakan yang telah diambil oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) itu tidaklah sembarangan. Scroll untuk informasi selengkapnya.

Sebelumnya, sudah dilakukan penelitian dengan rentang yang cukup panjang sejak 2011-2023, dalam arti sudah 12 tahun. Di mana penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, dengan dukungan dari para para pemangku kepentingan dan penerimaan yang baik dari masyarakat.

“Penelitian ini sudah dirancang di dalam beberapa fase-fasenya, mulai dari fase kelayakan, masih dalam laboratorium, kemudian kita mulai melepaskan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia di wilayah yang kecil di tingkat yang dusun,” ujar Prof Uut, sapaannya, saat media breafing Kemenkes di Jakarta, yang digelar virtual baru-baru ini.

“Kemudian pada fase yang sangat menentukan yaitu untuk menunjukkan bagaimana efek nyamuk aedes aegyti yang sudah memiliki bakteri alami wolbachia di tubuhnya, itu seberapa besar efeknya untuk penurunan dengue,” tambahnya. 

Jadi, pada tahap tersebut sudah dilakukan tahapan berskala luas di Yogyakarta. Namun yang penting menurut Prof Uut, dalam setiap tahapan sejak awal ada keterlibatan Kemenkes baik melakukan monitoring, evaluasi dan juga sebelum melepas nyamuk ber-wolbachia dilakukan analisis risiko oleh Kemenristekdikti bersama Balitbangkes Kemenkes.

“Berbekal hasil analisis risiko kita memahami betul bahwa wolbachia adalah bakteri alami, bukan rekayasa genetika dan aman untuk manusia, hewan, dan lingkungan,” jelasnya.

Dalam penelitian di Yogyakarta, Prof Uut memaparkan, pada wilayah yang dilepas nyamuk aedes aegyti yang ber-wolbachia, kejadian DBD lebih rendah 77 persen dan angka rawat inap di rumah sakit turun 86 persen. Hasil terbaru juga menunjukkan vogging berkurang 83 persen. 

“Dengan hasil-hasil ini kami membandingkan bagaimana kecenderungan kejadian dengue di kota Jogja tapi kita melihat mundur 30 tahun, kita melihat dinamika kejadian dengue-nya. Di situ kami menyimpulkan memang kejadian dengue saat ini angkanya terendah dibandingkan 30 tahun yang lalu,” tuturnya.

Ilustrasi nyamuk.

Photo :
  • Pexels/icon0.com

“Bukti-bukti ini saya kira semakin menguatkan hasil penelitian di Jogjakarta. Hasil ini kemudian jadi rekomendasi di WHO. Dengan rekomendasi ini dari pihak AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) juga menyampaikan rekomendasinya kepada Kementerian Kesehatan,” sambungnya.

Sehingga secara keseluruhan, kata Prof Uut, baik penelitian lalu dilanjutkan ke tahap implementasi di Sleman dan Bantul, dilakukan secara hati-hati sampai dengan saat ini. 

“Meskipun sudah jadi kebijakan, kita tetap diawali dengan pilot implementasi di lima kota. Mudah-mudahan hasil yang kita peroleh bisa jadi harapan baru masyarakat Indonesia di masa depan dalam mengendalikan dengue atau demam berdarah,” tutup Prof. Uut.