Berkaca Kasus Stres Berujung Kematian Akibat Jam Kerja Berlebih, Ini yang Perlu Dilakukan
- Pixabay/ lukasbieri
JEPANG – Tidak sedikit dari kita yang mengalami stres akibat pekerjaan di kantor. Namun sebagian dari kita mengabaikan masalah tersebut. Kita menganggap pemicu stres yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai sesuatu yang harus dihadapi atau sebagai masalah bagi mereka yang tidak dapat mengatasinya.
Jika masalah ini tidak diatasi, hal ini dapat menimbulkan bahaya psikososial yang tidak hanya membahayakan kesejahteraan psikologis seseorang, tetapi juga kesehatan fisik orang tersebut. Sebut saja, insiden Karoshi, yakni kematian karena terlalu banyak bekerja yang pertama kali ditemukan di tahun 1970an di Jepang. Lantas apa bahayanya stres dalam pekerjaan? Yuk, scroll untuk mengetahui jawabannya.
Melansir laman Bigthink, meski belum sepenuhnya menemukan korelasi antara bahaya psikosisal dapat menyebabkan kematian, namun para profesional percaya bahwa salah satu kemungkinannya adalah stres kronis menyebabkan tubuh menahan hormon seperti kortisol dan adrenalin dalam jangka waktu lama. Jika tidak diatasi, hormon-hormon ini akan merusak sistem peredaran darah tubuh, menyebabkan hipertensi dan menyebabkan stroke atau penyakit jantung.
Kemungkinan lainnya adalah stres kronis mengganggu kesehatan mental kita, membuat kita mengadopsi kebiasaan-kebiasaan berbahaya untuk mengatasinya. Sebut saja, merokok, minum alkohol berlebihan, gangguan tidur, tidak berolahraga, tidak bersosialisasi, dan lain sebagainya. Seiring waktu, kebiasaan ini melemahkan tubuh dan meningkatkan faktor risiko kardiovaskular. Ini juga bisa menjadi interaksi yang kompleks antara dua atau sepertiga pemicu yang belum diketahui.
Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara stres kronis dan penyakit yang berpotensi mengancam jiwa, dan populasi Jepang yang sudah lama bekerja terlalu banyak merupakan contoh kasus yang paling mengerikan.
Pada Juli 2013, seorang wartawan Jepang bernama Miwa Sado ditemukan tewas di apartemen sambil memegang telepon genggamnya. Sado diketahui telah meliput dua pemilu lokal di Tokyo pada bulan menjelang kematiannya. Untuk mengimbanginya, dia mencatat 159 jam lembur dan jarang mengambil cuti. Ketegangan akibat beban kerja yang berat menyebabkan gagal jantung kongestif di usianya yang baru menginjak 31 tahun.
Tak hanya itu, Joey Tocnang, seorang peserta pelatihan asal Filipina berusia 27 tahun, meninggal karena gagal jantung pada tahun 2014 setelah bekerja lembur selama 122 jam di sebuah perusahaan casting Jepang. Pada 2015, Matsuri Takahashi, seorang karyawan berusia 24 tahun di sebuah biro iklan Jepang, bunuh diri setelah jam kerjanya yang melelahkan membuatnya “hancur secara fisik dan mental.” Dan pada 2019, seorang reporter berusia 40-an meninggal setelah bekerja lembur dengan rata-rata bekerja selama 92 jam dalam 5 bulan.
Karoshi, Epidemi di Jepang
Alasan jadwal yang sangat melelahkan ini bermacam-macam. Pertama, masyarakat Jepang telah mengalami kekurangan pasar tenaga kerja selama beberapa dekade.
Setelah runtuhnya gelembung ekonomi Jepang pada tahun 1990an dan resesi global yang terjadi setelahnya, perusahaan-perusahaan Jepang bertujuan untuk mengurangi biaya produksi dengan melakukan PHK dan restrukturisasi perusahaan.
Jumlah angkatan kerja terus menyusut seiring dengan menurunnya jumlah populasi dan generasi baby boomer di Jepang yang sudah tidak lagi bekerja.
Kekurangan tenaga kerja dan menurunnya produktivitas menyebabkan tingginya tuntutan dan tekanan yang diberikan pada pekerja tetap. Tuntutan ini mencakup jam kerja yang panjang, namun juga beban kerja yang berat dan pemicu stres sosial. Pada tahun 2004, sebanyak 12 persen penduduk bekerja 60 jam atau lebih per minggu.
Alasan lainnya adalah budaya Jepang sangat menghargai kerja keras dan jam kerja yang panjang. Rekan kerja yang pulang lebih awal tidak dianggap serius dengan pekerjaannya dan dianggap kurang rajin dan loyal. Bahkan tidur di depan umum karena kelelahan (inemuri atau tidur di tempat kerja) dapat meningkatkan reputasi seseorang di tempat kerja.
Apa yang perlu dilakukan untuk menghindari kematian akibat stres pekerjaan?
Di persimpangan antara kesehatan, kehidupan individu, dan kondisi sosial terdapat banyak potensi bahaya psikososial. Hal ini mencakup kurangnya kontrol di tempat kerja, tuntutan pekerjaan yang tinggi, tugas-tugas yang terlalu monoton, ketidakamanan dalam pekerjaan, konflik antarpribadi, dan imbalan yang tidak memadai.
Ketika bahaya-bahaya ini digabungkan dan diperparah, maka akan menimbulkan bahaya kesehatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bahaya-bahaya lain yang berdiri sendiri-sendiri.
Singkatnya, yang penting bukan hanya jam kerja. Kualitas pekerjaan dan lingkungan sosial juga penting untuk dipertimbangkan. Selain itu, ke depannya, dunia usaha harus lebih proaktif dalam mengubah budaya dan ekspektasi di tempat kerja. Para pemimpin dan manajer senior harus memisahkan keyakinan yang salah bahwa waktu tatap muka dan produktivitas adalah hal yang sama.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa produktivitas turun setelah mencapai ambang batas tertentu. Pekerjaan yang terfokus dan berkualitas harus menjadi evaluasi kinerja bukan hanya sekadar pertaruhan. Dunia usaha juga harus lebih mengenali tempat kerja sebagai bagian holistik dari kehidupan karyawan dan mengembangkannya seperti itu.
Pemerintah harus mengakui bahaya psikososial sebagai bagian dari kesehatan dan keselamatan kerja nasional namun hanya sedikit yang mengakuinya. Setelah diketahui, mereka perlu membuat dan menegakan Undang-undang untuk mencegah bahaya seperti yang mungkin terjadi pada bahaya pekerjaan lainnya. Dan hukuman bagi pelanggaran undang-undang tersebut harus lebih berat daripada tindakan mempermalukan publik yang bersifat jangka pendek atau tindakan tamparan di pergelangan tangan.
Yang terakhir, pekerja perlu mengenali tanda-tanda kerja berlebihan dibandingkan menganggap stres atau kelelahan sebagai sebuah kelemahan karakter. Jika memungkinkan, mereka harus mengambil tindakan pribadi untuk melepaskan diri dari stres tersebut.
Hal ini dapat mencakup berfokus pada hubungan, melakukan hobi, menyederhanakan hidup sebisa mungkin, menjalani hari-hari kesehatan mental, dan menggunakan seluruh waktu liburan. Jika stres menyebabkan masalah kesehatan, fisik atau mental, mereka harus mencari bantuan profesional sesegera mungkin.