Ini Perbedaan Skrining dan Deteksi Dini untuk Mengetahui Risiko Kanker Paru
- Freepik/kjpargeter
JAKARTA – Angka kematian akibat kanker paru di Indonesia terus mengalami kenaikan yang signifikan. Secara umum, gejala kanker paru biasanya diawali dengan batuk yang tidak biasa, batuk berdarah, sakit atau nyeri dada, hingga sesak napas. Akan tetapi tidak ada kondisi khusus yang dapat mengetahui apakah seseorang menderita kanker paru.
Oleh karena itu untuk mendeteksi adanya kanker, bisa dilakukan dengan cara skrining atau deteksi dini sebelum nantinya kanker tersebut mencapai stadium akhir. Sayangnya, dalam kasus paru di Indonesia sering kali pasien datang ke rumah sakit ketika kondisinya sudah mencapai stadium lanjut. Sehingga, kematian akibat kanker paru pun tidak terelakkan. Scroll untuk info selengkapnya.
Sebelum melakukan pemeriksaan berkelanjutan untuk kanker paru, orang yang dalam kondisi sehat bisa melakukan skrining. Pengecekan ini perlu dilakukan oleh semua masyarakat untuk mengetahui apakah ada risiko penyakit paru atau tidak.
"Tujuannya skrining adalah menemukan adanya penyakit sedini mungkin sehingga dalam waktu yang bisa disembuhkan atau meningkatkan kualitas hidup dan bebas dari penyakit," terang Dr. Sita Laksmi Andarini selaku Ketua Pokja Onko PDPI, dalam acara Peluncuran Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia, di Jakarta, Rabu 23 Agustus 2023.
Apabila kasus kanker paru ditemukan pada kondisi stadium dini, maka angka bertahan hidup selama lima tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus yang ditemukan dalam stadium lanjut.
Berbeda dengan proses skrining yang perlu dilakukan oleh semua orang dalam kondisi sehat, deteksi atau diagnosis dini merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah punya gejala kanker paru.
"Skrining oleh seluruh orang Indonesia tidak hanya untuk yang memiliki risiko tinggi yaitu usia di atas 45, riwayat merokok, riwayat keluarga, riwayat penyakit kanker, dan pekerjaan," jelasnya.
Di antara rekomendasi dalam Konsensus Nasional baru mengenai Skrining Kanker Paru, para ahli mendorong peralihan dari sinar-X dada yang tradisional menjadi prosedur yang lebih canggih yang dikenal sebagai tomografi Komputer berdosis rendah (LDCT), yang menggunakan komputer dengan sinar-X berdosis rendah untuk menghasilkan serangkaian gambar dan dapat membantu mendeteksi kelainan paru-paru, termasuk tumor.
Uji klinis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih dari 50.000 peserta telah menunjukkan penurunan relatif 20 persen dalam kematian akibat kanker paru dengan Skrining LDCT (247 kematian per 100.000 orang-tahun) dibandingkan dengan sinar-X dada (309 kematian per 100.000 orang-tahun), karena deteksi kanker yang lebih awal.
Dengan terobosan teknologi baru, skrining kanker paru juga dapat dibantu dengan kecerdasan buatan, yang melibatkan penggunaan algoritma komputer dan teknik pembelajaran mesin untuk menganalisis data gambar medis, seperti CT scan atau sinar-X dada, atau gambar relevan lainnya.
Algoritma kecerdasan buatan in dapat membantu dalam mendeteksi nodul paru-paru, lesi, atau pola yang mencurigakan yang dapat mengindikasikan keberadaan kanker paru pada populasi berisiko tinggi.