Duh, Obat Darah Tinggi dan COVID-19 Bikin Jumlah Sperma Turun Drastis

Ilustrasi obat/vitamin.
Sumber :
  • Freepik

VIVA Lifestyle – Kehamilan dapat dicapai dengan kesuburan yang baik dari kedua pasangan suami istri tersebut. Sayangnya, ada sejumlah faktor yang dapat membuat kehamilan sulit diraih karena kesuburan pria berkurang lantaran jumlah sperma menurun drastis tanpa disadari seperti karena obat-obatan tertentu.

Dokter spesialis andrologi dan seksologi yang berpraktik di RS Pondok Indah–IVF Centre, Dr. dr. Silvia Werdhy Lestari, M.Biomed, Sp. And, mengatakan bahwa penurunan sperma pada pria bisa disebabkan oleh gangguan hormon. Hal ini juga dapat berakibat pada gangguan saat berhubungan intim yang kerap menjadi gejala yang mulai disadari para pria.

"Gangguan hormon laki-laki bisa, tapi nggak ada gejala. Spermanya dulu pasti yang terganggu, jadi ga ketahuan. Kalau gangguan seksnya ada, maka spermanya pasti sudah sangat menurun," tuturnya dalam acara media, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ilustrasi sperma.

Photo :
  • Pixabay

Gangguan hormon yang memengaruhi kualitas dan jumlah sperma itu sendiri dapat diakibatkan beberapa kebiasaan. Seperti gaya hidup yang gemar merokok, konsumsi alkohol, serta obat-obatan tertentu yang memang dianjurkan oleh dokter.

"Obat-obatan tertentu seperti obat darah tinggi, obat pasien skizofrenia, depresi," lanjutnya.

Lebih dalam, obat-obatan tersebut rupanya memicu interaksi silang di dalam tubuh sehingga memengaruhi hormon. Dampaknya, produksi hormon di tubuh pria yang seharusnya dapat menghasilkan sperma, tak dapat melakukan fungsinya.

"Hormonnya ini 'tricky' (sulit), karena nggak semua dokter paham. (Untuk hamil) minimal testosteron pria 250-800, tapi usianya ideal juga nggak. Kalau mau hamil, harus benar dulu testosteronnya, baru pembentukan sperma bisa baik," tuturnya.

Sementara itu, virus COVID-19 pun mulai terbukti dari penelitian memengaruhi jumlah dan kualitas sperma. Riset menemukan bahwa COVID-19 membuat jumlah sperma menurun dari 20 juta menjadi hanya 2 juta. Bahkan, kasus serupa terjadi pada virus Omicron saat ini.

Ilustrasi COVID-19/virus corona.

Photo :
  • Pixabay/mattthewafflecat

"Infeksi COVID-19 lebih lemahkan sperma pada pasien. Dikasih obat, turunnya ekstrem dari 20juta jadi 2 juta sperma. Jadi ditunda promilnya. Sekarang juga kena omicron baru-baru ini juga turun, ekstrem rata-rata dari 20 juta jadi 2 juta," tambahnya.

Hal ini pun terjadi dari pemberian vaksin COVID-19 yang berdampak ke reproduksi pria. Meski begitu, dokter Silvia menegaskan bahwa pembentukan sperma dapat normal kembali rata-rata setelah 6 bulan pasca sembuh atau usai diberikan vaksin COVID-19. Sehingga, pemberian vaksin COVID-19 tak berdampak selamanya pada tubuh.

"Vaksin dari virus, walau ada virus yang dilemahkan, derajatnya beda-beda. Gradasi virusnya beda-beda pada vaksin. Kena vaksin COVID-19 spermanya dari 20 jadi 10 juta. Walau kita tunggu 6 bulan, balik lagi rata-rata," jelasnya 

Ada pun dibeberkan dokter Silvia, kehamilan juga didasari atas usia dari pihak perempuan lantaran sel telur akan kerap berkurang seiring bertambahnya usia. Maka, ketika pasangan suami istri dengan usia di atas 35 tahun belum hamil seusai 6 bulan menikah, dianjurkan segera konsultasi.

"Dari penelitian, peluang kehamilan ini terjadi paling tinggi dengan 12 kali kehamilan. Definisi ini ditegakkan untuk perempuan usia 35 tahun ke bawah. Ketika menikah di atas usia 35 tahun, yang ditegakkan adalah bila 6 bulan menikah dan rutin berhubungan intim tanpa kb, belum hamil, segera periksa ke rumah sakit," tambahnya.

Ilustrasi hamil/ibu hamil/USG.

Photo :
  • Freepik/tirachardz

Rutinitas berhubungan seks sendiri dianjurkan paling baik sebanyak 3 kali dalam sepekan. Dengan diiringi oleh pola makan sehat dan gaya hidup baik mulai dari porsi gizi seimbang, olahraga rutin, dan menghindari stres. Tak lupa, selalu memeriksa kondisi kesehatan reproduksi sendiri karena kemungkinan genetik yang tak cocok dapat membuat kesulitan meraih kehamilan.

"Seringkali perempuan yang disalahin, padahal nggak begitu. Sama banyaknya antara laki dan perempuan, 40 persen : 40 persen. 10 persen dari faktor keduanya yang tidak diketahui. 10 persen faktor lain seperti genetik. Misal sperma bagus, sel telur bagus, tapi genetik. Gen mereka tidak cocok, maka pasangan itu susah punya anak," tandasnya.