Dokter Miris Banyak Orangtua Enggan Vaksinasi Anak, Dibiarkan Sakit Demi Kekebalan Alami
- Freepik/DCStudio
VIVA Lifestyle – Vaksin tengah digencarkan saat ini lantaran penyakit-penyakit menular yang dapat dicegah dan sempat nol kasus di Indonesia, justru kian melonjak setelah pandemi COVID-19 melandai. Banyak anggapan yang menuturkan bahwa anak-anak tanpa mendapat vaksinasi sendiri sebenarnya bisa mendapat kekebalan alami dari penyakit yang dialami, namun pakar menilai kondisi itu sangat miris.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof.Dr.dr. Hartono Gunardi, Sp.A (K) menyebutkan bahwa masyarakat kerap membandingkan sakit sebagai kekebalan alami dengan pemberian vaksin pada anak. Prof Hartono, sapaannya, menegaskan bahwa anggapan tersebut sebenarnya tak dapat dibandingkan karena risikonya yang lebih berdampak.
Dijelaskan Prof Hartono, banyak orang tua enggan memberi vaksinasi karena mendengar dan menilai opini yang belum tepat terkait efek sampingnya. Fakta yang ada, Prof Hartono menyebutkan bahwa risiko paling berat ketika diimunisasi adalah radang otak namun efek samping itu hanya didapatkan antara 1 banding 1.000.000 anak.
"Kalau diimunisasi, risiko paling berat radang otak akibat imunisasi perbandingan 1:1 juta. Kalau (imunisasi) campak risiko radang otak perbandingannya 1: 1000. Jadi seribu kali tidak berisiko terkena radang otak," jelas Prof Hartono dalam rangka Pekan Imunisasi Dunia 2023, GSK berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), di Jakarta, Senin 8 Mei 2023.
Radang otak sendiri, kata Prof Hartono, merupakan kondisi berbahaya dengan tingkat kematian yang tinggi. Kalau pun sembuh, anak yang sempat menderita radang otak akan mengalami gejala 'sisa' seperti kelumpuhan bicara hingga kecerdasan menurun. Namun, kasus ini sangat jarang terjadi sebagai dampak imunisasi.
Sementara pada kasus difteri, perbandingan kematian terjadi pada 1 banding 20 anak yang mengalami penyakit tersebut. Apalagi, anak yang mengalami difteri pun butuh anti difteri serum yang tak diproduksi di Indonesia sehingga sulit untuk mendapatkannya. Anak-anak yang mengalami kasus difteri ini nantinya berisiko gejala berat hingga kematian.
"Sebagian pabrik yang produksi (serum anti difteri) tutup karena negara lain sudah jarang difteri. Meski ada finansial di Indonesia untuk beli, tapi belum tentu tersedia untuk dibeli. Jadi daripada sulit-sulit, lebih baik cegah dengan imunisasi," bebernya.
Dari pengalaman Prof Hartanto di RS Cipto Mangunkusumo sebagai Rumah Sakit rujukan nasional, banyak kasus pada anak yang tidak diimunisasi justru mengalami gejala berat akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Maka, membiarkan anak sakit demi mendapat kekebalan alami dari tubuh adalah hal yang sangat salah. Sayangnya, edukasi yang belum merata membuat anak-anak kerap tak mendapat hak imunisasinya.
"Kalau melihat anak-anak kena infeksi radang paru, campak dengan gejala radang otak, itu sangat miris. Saya kerja di RSCM, itu kan rs rujukan, datang anak dengan sindrom kongenital, dan itu ibunya sangat menderita. Jadi ibu-ibu yang punya anak menderita sakit-sakit itu, pada umumnya tidak tahu ada imunisasi. Ketidaktahuan itu yang perlu diatasi. Imunisasi sangat bermanfaat cegah kesakitan dan kematian, jadi perlu digalakkan," tandasnya.