Pola Asuh Salah Hingga Masalah Mental, Ini Penyebab Obesitas pada Bayi dan Remaja
- iStockphoto.
VIVA Lifestyle – Lonjakan kasus diabetes pada anak memang memprihatinkan. Terlebih, diabetes sendiri sangat erat kondisinya dengan obesitas dan kegemukan pada anak sehingga menjadi masalah gizi yang tak kunjung usai yang berdampak membahayakan nyawa generasi muda.
Dituturkan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementrian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, bahwa ada tren obesitas yang dialami anak mulai meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut menjadi faktor risiko diabetes terjadi pada anak.
"Dulu obesitas pada anak bawah 15 tahun belum jadi masalah karena masalah stunting jauh lebih besar. Tapi tren (kegemukan) peningkatan ada. Dari Riskesdas dibanding 2013-2018 bahwa anak usia 15 sudah ada risiko obesitas," kata Nadia, dikutip keterangan pers Pencegahan Diabetes pada Anak dengan Pola Makan dan Gaya Hidup yang Tepat.
Salah satu faktor penyebab anak obesitas adalah pola asuh dari orangtua yang berujung pada kebiasaan makannya. Terlebih, anggapan bahwa perawakan anak gemuk nampak menggemaskan dibanding anak yang kurus.
"Faktor genetik, kebiasaan makan dan penurunan aktivitas fisik. Kebiasaan makan nasi harus habis, porsi nggak sesuai, kebanyakan karbohidrat. Tapi ibu cenderung pola asuhnya kalau anaknya gemuk lucu," tambah Nadia.
Berbeda dengan obesitas pada remaja yang cenderung dipengaruhi oleh faktor kesehatan mentalnya. Hal itu pada akhirnya membuat remaja menjadi memiliki nafsu makan lebih tinggi sehingga asupannya berlebihan dan memicu obesitas.
"Kalau remaja, kalau cemas stres, apalagi usia ini kan banyak perubahan dari anak jadi remaja, ada faktor psikis, cenderung makan jadi lebih banyak. Ibu-ibu yang kalau anaknya gemuk, itu anggapannya sehat. Pola asuh ini banyak timbul obesitas," kata dia.
Kegemukan, kurang aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat, konsumsi minuman manis yang berlebihan, menjadi pemicu tidak terkontrolnya kadar gula darah. Walaupun diabetes bukan penyakit menular, tetapi penyakit ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi, seperti pada saraf, mata, dan juga gangguan pada tumbuh kembang anak.
“Perhatikan kesehatan anak kita dimulai dari pola asuh orangtua yang sehat. Jadi orangtua memiliki peran sentral dalam membentuk anak-anak yang tumbuh sehat sehingga bisa terhindari dari risiko penyakit, termasuk diabetes ini,” ujarnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah melakukan upaya pencegahan, salah satunya dengan menekankan pentingnya skrining secara berkala sehingga jika ditemukan gejala penyakit tertentu dapat segera ditangani.
Berbeda dengan DM tipe-1 yang tidak bisa dicegah, kejadian DM tipe -2 pada anak dapat dicegah atau ditunda dengan pola makan seimbang dan olahraga yang teratur. Program pemerintah untuk mengatasi balita obesitas dilakukan dengan memonitor perkembangannya dengan menimbang badan sebulan sekali.
“Pemerintah juga melakukan penyediaan antropometri standar di Puskesmas dan Kartu Pantau Berat Badan,” ujar Nadia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga menyarankan batas asupan gula per hari sekitar 50 gram atau 4 sendok makan untuk orang dewasa sehat. Asosiasi Ahli Jantung Amerika Serikat (AHA) menyebut batas maksimal konsumsi gula untuk anak usia 2 hingga 18 tahun kurang dari 24 gram per hari.
Prof.Dr.Ir.Ujang Sumarwan, M.Sc, Guru Besar Perilaku Konsumen, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pun menegaskan bahwa saat ini konsumsi gula harian masyarakat, baik yang didapat dari makanan atau minuman, sudah tergolong berlebihan.
Tingginya konsumsi makanan dan minuman manis di Indonesia tergambar pada hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Terungkap, 47,8 persen responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu. Sementara itu, pada anak-anak, 59,6 persen anak usia 3-4 tahun mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari dan 68,5 persen mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari.
Pakar Perilaku Konsumen dari IPB ini lebih rinci menyebutkan gula terburuk terdapat pada makanan olahan, minuman olahraga, makanan penutup, dan jus buah. Anak yang dibebaskan untuk mengasup makanan atau minuman tinggi gula setiap hari tentu dapat berdampak pada asupan kalori dan zat gizi secara berlebihan. Ini karena camilan yang disukai anak pada umumnya tinggi gula dan garam, namun rendah protein dan vitamin.
“Konsumsi gula yang berlebihan ini tentu saja menambah besar risiko penyakit diabetes. Karena itu perlu tindakan preventif yang sangat serius dan tegas dalam membatasi kandungan gula dalam produk makanan dan minuman yang dijual di pasaran,” tegas Prof Ujang.