Hipertensi Disebut Si Pembunuh Senyap, Kenali Pemicu Hingga Gejalanya

Ilustrasi hipertensi.
Sumber :
  • Pixabay/rawpixel

VIVA Lifestyle – Prevalensi penyandang tekanan darah tinggi (hipertensi) di Indonesia jumlahnya tidak berkurang dalam satu dekade terakhir, bahkan cenderung meningkat. Survei nasional di Indonesia pada 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah 34,1 persen, tidak berbeda dengan hasil survei nasional tahun 2007 yang besarnya 31,7 persen. 

Ketua InaSH, dr. Erwinanto, Sp.JP(K),FIHA,  mengatakan bahwa tidak berubahnya jumlah penyandang hipertensi dari tahun ke tahun bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain termasuk negara maju seperti Amerika. Tingginya jumlah penyandang hipertensi menjadi beban berupa tingginya angka kesakitan dan kematian penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal kronik. Scroll untuk info selengkapnya.

"Hipertensi bertanggung jawab terhadap sebagian beban biaya yang tinggi untuk penyakit jantung-pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal di Indonesia," tuturnya dalam acara media 17th Scientific Meeting Indonesian Society of Hypertension (InaSH), di Jakarta, Jumat 24 Februari 2023.

Ilustrasi serangan jantung/stroke.

Photo :
  • Freepik/rawpixel.com

'Si Pembunuh Senyap'
Sekretaris Jenderal InaSH, dr. Djoko Wibisono, Sp.PD-KGH, dalam pemaparannya mengatakan bahwa hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama seluruh masyarakat di Indonesia. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain. 

"Hipertensi masih menjadi faktor risiko utama penyebab dari stroke perdarahan, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, bahkan kematian dini," tambah dokter Djoko di kesempatan yang sama.

Berawal dari kondisi yang sering kali diabaikan sebagian besar orang yang merasa tidak memiliki keluhan. Namun sesungguhnya, ini menjadi sumber komplikasi kesehatan yang lebih fatal untuk organ vital seperti otak, jantung, maupun ginjal. 

"Berangkat dari kondisi tersebut, hipertensi sering disebut sebagai ‘Si Pembunuh Senyap’ atau ‘The Silent Killer’," jelas dia.

Pemicu dan Gejala Hipertensi
Dokter Djoko mengatakan bahwa hipertensi sendiri terbagi dalam dua kelompok penyebab. Pertama, hipertensi primer (esensial) sebanyak 90-95 persen kasus merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.

Kedua, hipertensi sekunder (5-10 persen), yaitu tekanan darah tinggi disebabkan oleh penyebab yang mendasarinya antara lain berhubungan dengan tanda-tanda gangguan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar gondok (tiroid), dan penyakit kelenjar adrenal (sebuah kelenjar di atas ginjal yang bertugas menghasilkan hormon), serta konsumsi obat-obatan tertentu. 

Ilustrasi hipertensi.

Photo :
  • Pixabay/frolicsomepl

"Tekanan darah tinggi pada hipertensi primer dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti, usia lanjut, obesitas, dan adanya riwayat hipertensi pada keluarga," terangnya.

Lalu, kebiasaan konsumsi makanan asin atau tinggi garam (natrium), konsumsi makanan kemasan atau makanan cepat saji, kurangnya konsumsi buah dan sayur, pola hidup sedenter yaitu terlalu banyak duduk dan kurang berolahraga, konsumsi alkohol, serta kebiasaan merokok.

Sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi, terutama pada kelompok hipertensi primer tidak memiliki gejala yang spesifik. Gejala klinis baru dirasakan bila kondisi hipertensi telah memberat  atau yang telah berkomplikasi. 

"Gejala yang dapat muncul antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah  lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran," tegasnya.

Pencegahan Utama Hipertensi
Dokter Djoko mengatakan bahwa hipertensi dapat dicegah jika dapat dikelola dengan baik yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Hipertensi yang terkelola dengan baik dapat mencegah dan menurunkan risiko kesakitan, komplikasi, bahkan risiko kematian dini. Upaya ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian terapi obat rutin ketika sudah diperlukan. 

"Konsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang. Pola makan dengan meningkatkan konsumsi buah,sayur, dan konsumsi rendah lemak, membatasi konsumsi natrium, yaitu dianjurkan maksimal 1 sendok teh garam atau setara 5 gram garam dapur dalam sehari,” jelasnya.

ilustrasi makanan sehat.

Photo :
  • Pixabay/Pexels

“Selain itu, menghindari konsumsi alkohol, tetap mempertahankan berat badan ideal, berhenti merokok, membiasakan untuk beraktivitas fisik teratur, yaitu dengan berolahraga yang bersifat aerobik minimal 30 menit per hari dengan frekuensi 5 kali dalam seminggu,” tambahnya.

Pada kasus hipertensi yang sudah mendapatkan obat anti hipertensi rutin dari dokter, diharapkan untuk selalu mengonsumsi obat secara teratur dan berkala sekaligus memeriksakan kondisi kesehatannya ke fasilitas kesehatan.

Sebagian besar pengobatan hipertensi diberikan dalam jangka panjang bahkan mungkin sampai seumur hidup, karena terapi hipertensi ini bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah  sesuai target agar dapat memperpanjang harapan hidup serta mengurangi risiko komplikasi,” jelasnya.

Senada, Dokter Erwinanto mengemukakan pentingnya mengukur tekanan darah agar dilakukan di rumah atau di pelayanan Kesehatan secara rutin. Ulangi pemeriksaan tekanan darah setidaknya setiap tahun, jika tekanan darah terukur 130-139/85-89 mmHg (tekanan darah normal tinggi) dan lebih sering jika terukur 140/90 mmHg atau lebih (hipertensi). 

Jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg berisiko menjadi hipertensi di masa datang. Sebuah penelitian menunjukkan risiko menjadi hipertensi 2 tahun ke depan adalah 40 persen jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg. Jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, berisiko mengalami penyakit jantung, stroke dan gagal
ginjal yang jauh lebih besar dibandingkan mereka dengan tekanan darah lebih rendah. 

Dengan mengetahui tingkat tekanan darah, diharapkan seseorang menjadi lebih sadar untuk melakukan usaha menurunkannya jika diperlukan. Seseorang dianjurkan menurunkan tekanan darah jika terukur 130/85 mmHg atau lebih. Jika tekanan darah seseorang 130-139/85-89 mmHg, cukup melakukan intervensi gaya hidup seperti berolah raga teratur, menurunkan berat badan, mengurangi asupan garam. 

"Seseorang mungkin perlu terapi obat jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih. Dokter akan memutuskan apakah perlu terapi obat atau tidak,” lanjutnya.