Polemik Anak Konsumsi Kental Manis, Dokter Sebut Dampak Tak Langsung Bahaya Diabetes
- Pinterest/Kelli Foster
VIVA Lifestyle – Video seorang ibu memberikan kental manis untuk anaknya yang masih berusia 7 bulan viral beberapa waktu lalu. Tak hanya netizen dan pakar kesehatan yang mengecam, Presiden Joko Widodo bahkan turut mengingatkan agar seluruh kader Posyandu dan BKKBN lebih gencar memberi penyuluhaan kesehatan kepada masyarakat.
Menindaklanjuti temuan tersebut, Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) mengadakan diskusi media bertajuk “Salah Kaprah Susu, Kesehatan Anak, dan Peran Media Sosial”.
Diskusi ini membahas pentingnya keselarasan antara edukasi dan sosialisasi seputar nutrition fact produk kental manis belum dipahami secara luas oleh masyarakat.
Hadir dalam kesempatan tersebut Devie Rahmawati, pengamat Sosial; dr. Agnes Tri Harjaningrum, Msc., S.pA., dokter spesialis anak. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Sebagai organisasi masyarakat yang memiliki jaringan relawan di seluruh wilayah Indonesia, KOPMAS telah mengumpulkan banyak temuan lapangan mengenai kesalahan konsumsi kental manis oleh masyarakat, terutama pada balita dan anak-anak.
Selain alasan harga produk kental manis yang ekonomis serta tersedia dalam kemasan sachet, pada umumnya masyarakat mengaku tidak paham alasan kental manis tidak baik diberikan sebagai susu untuk anak.
Temuan ini menunjukkan bahwa edukasi dan sosialisasi gizi belum menjangkau masyarakat secara luas. Selain itu, transparansi kandungan gula dalam produk kental manis minim.
Produsen juga tidak melakukan edukasi kandungan produk serta marketing dan promosi produk yang hingga saat ini masih kerap menyasar ibu dan balita.
Sekjen KOPMAS, Yuli Supriaty, memaparkan hasil temuan timnya di lapangan seputar konsumsi kental manis sebagai susu pengganti untuk anak.
"Selama ini saat tim KOPMAS terjun langsung ke lapangan pada tahun 2020 - 2022, kami menemukan banyak masyarakat terutama orang tua yang masih memberikan kental manis sebagai pengganti susu untuk anaknya. Hal ini sangat kami sayangkan,dan ini menandakan masih minimnya tingkat edukasi dan literasi di kalangan masyarakat hingga kurangnya akses informasi bagi masyarakat." Jelas Yuli.
Ia pun meminta berbagai pihak terkait berkolaborasi terkait pencanangan peningkatan literasi gizi untuk masyarakat seputar temuan konsumsi kental manis.
Lebih lanjut Yuli menjelaskan jika temuan dari KOPMAS ini karena kurangnya literasi gizi dan minimnya sosialisasi bagi masyarakat, terutama para ibu.
"Kedepannya semua pihak dan stakeholder harus satu suara dalam mengedukasi para orang tua mengenai pemberian kental manis bagi anaknya yang ternyata kandungan didalamnya yang lebih banyak gula," tegasnya.
Dokter spesialis anak, dr. Agnes Tri Harjaningrum, Msc.,S.pA., menyampaikan anak yang diberi kental manis secara terus-menerus secara tidak langsung akan memengaruhi tumbuh kembang anak tersebut.
"Kalau bayi atau anak-anak yang mengkonsumsi kental manis ini memang tidak berdampak langsung, tapi melalui proses sehingga pada akhirnya menjadi diabetes," jelas dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Permata Depok.
Lebih lanjut dokter spesialis anak tersebut menjelaskan berdasarkan data dari World Health Organization, kandungan gula yang harusnya dikonsumsi yaitu dibawah 10% dari total kalori.
"Sedangkan kalau kental manis sendiri, tambahan gulanya sekitar 19 gram, kalau di konversi sekitar 58 persen. Ini sudah sangat jauh dari batasannya," ujar dr. Agnes.
Senada dengan Yuli, dr. Agnes menjelaskan bahwa kandungan yang terdapat dalam kental manis, bukan merupakan susu, tapi sirup rasa susu.
Pengamat Sosial, Devie Rahmawati, mengatakan fenomena orang tua terutama ibu dalam memberikan kental manis bagi anaknya berawal dari ketidaktahuan masyakarat akan kandungan yang terdapat dalam kental manis.
"Masifnya informasi di media sosial dan rendahnya literasi masyarakat menjadi salah satu bukti bagaimana masyarakat masih salah persepsi terkait kental manis," ujar Devie.
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia ini pun menuturkan pemanfaatan media sosial yang efektif harus terus disosialisasikan kepada masyarakat, hal ini untuk memperluas jangkauan sosialisasi masyarakat.