6 Industri Farmasi Tersandung Cemaran EG-DEG, GPFI: Ini Konsekuensi yang Harus Dibayar
- Pexels/Cottonbro
VIVA Lifestyle – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menegaskan bahwa tersandungnya industri farmasi di kasus gangguan ginjal akut menjadi pelajaran berharga yang tak boleh terulang lagi. Direktur Eksekutif GPFI, Elfiano Rizaldi, mengungkapkan bahwa sejatinya kelengahan industri farmasi pada produk yang dihasilkannya hingga menyebabkan kematian dari gangguan ginjal akut itu adalah konsekuensi yang harus dibayar.
"Ini pelajaran berharga dan mahal untuk industri farmasi di Indonesia. Terlebih, masyarakat yang jadi ada korban," ujar Elfiano dalam Talkshow: Kembalinya Obat Sirup Yang Hilang, Jangan Ada EG/DEG di Antara Kita, di Jakarta, Selasa 20 Desember 2022. Scroll untuk info selengkapnya.
Lebih dalam, Elfiano menuturkan bahwa industri farmasi sudah seharusnya melakukan pengecekan dan pengujian produk oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan industri farmasi tersebut. Karena kelengahan industri farmasi terhadap implementasi CPOB dan Farmakope Indonesia, oknum supplier dapat memalsukan bahan pelarut yang berbahaya yakni etilen glikol-dietilen glikol (EG-DEG).
"Memang konsekuensi, 6 industri farmasi ini lalai dan kurang dispilin terhadap implementasi CPOB dan farmakope. Kami harapkan industri farmasi lain, kami imbau terus-menerus meningkatkan kapabilitas dan konsisten disiplin jalankan aturan pelaksanaan terhadap aturan CPOB dan Farmakope maupun aturan standar internasional apabila industri farmasi melakukan penjualan ke mancanegara," terangnya.
Elfiano menyayangkan bagaimana harga mahal yang harus dibayar oleh para industri farmasi tersebut. Ia pun mendorong otoritas kesehatan atau obat untuk melakukan pembinaan kepada Industri farmasi yang melakukan kelalaian atau ketidakdisiplinan dalam proses produksi obat sirup dengan mempertimbangkan prinsip ultimum remedium atas proses hukum yang sedang berjalan saat ini.
"Terhadap 6 industri farmasi tersebut sudah diberi sanski, dikeluarkan dari regulator BPOM. Mahal buat industri tersebut kejadian ini. Reputasi yang dibangun memerlukan waktu puluhan tahun yang CPOB- nya sudah dicabut. Mahal sekali karena investasi besar dan waktu membangun industri survei puluhan tahun. Kelalaian kedisplinan dan konsistensi CPOB dan farmakope yang seharusnya dijalankan," tambahnya.
Selain berfokus pada pengujian untuk memastikan keamanan produk obat sirup, menurut Elfiano Rizaldi, yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mendorong aparat penegak hukum untuk segera memproses dan menindak dengan tegas agar memberikan efek jera kepada oknum pemasok yang menipu dan memalsukan bahan baku penolong kepada Industri farmasi. Sebab, kesalahan terkait obat sirup ini bukan pada sistem kerja melainkan oknum yang memanfaatkan celah dalam memalsukan bahan pelarut.
"Ada oknum yang memanfaatkan celah atau kesempatan untuk menipu. Siapa? Supplier bahan kimia. Itu penipunya. Ini diberi sanksi berat supllier bahan kimia. Penyebabnya dimulai dari supplier bahan kimia pelarut," tandasnya.
GPFI menegaskan bahwa problem pencemaran sirup adalah kombinasi dua hal dari isu pemalsuan pelarut dan tidak adanya metode pemeriksaan EG/DEG pada obat jadi sirup. Elfian menampik bahwa ini bukan isu adanya problem sistemik pada sistem produksi Industri farmasi atau sistem pengawasan BPOM yang sudah sangat ketat.
Hal ini terbukti dari data yang ada bahwa hanya 5 persen dari ragam obat sirup yang sempat beredar yang tercemar, dan hanya kurang dari 2 persen dari total obat yang beredar yang tercemar, sedangkan lebih dari 94 persen obat sirup lainnya layak dikonsumsi yang membuktikan bahwa kasus cemaran sirup adalah sebuah insiden dan bukan sistemik mayoritas.
"Bukan karena langgar aturan atau SOP. Tapi dimanfaatkan oleh oknum. Dan ada industri farmasi yang tertipu. Tidak semua (industri farmasi). Ada peraturan yang tidak dilakukan oleh industri farmasinya dengan tidak menguji kembali bahan pelarutnya. Itu saya bilang, Industri farmasi harus konsisten dan disiplin jalani CPOB," jelasnya.