Mana Lebih Bahaya Bagi Kesehatan, Galon BPA atau Plastik PET?

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Pertanyaan paling menohok terkait air minum dalam kemasan (AMDK) galon plastik adalah, mana yang lebih berbahaya buat kesehatan manusia, antara galon polikarbonat (PC) plastik keras yang mengandung bisphenol-A (BPA) atau galon yang menggunakan plastik  polyethylene terephthalate (PET)? 

Kedua jenis kemasan plastik ini memiliki kelebihan dan kekurangan terkait risiko kesehatan bagi manusia. Terkait produk-produk makanan dan minuman, kemasan polikarbonat yang kita kenal sebagai plastik keras atau kaku itu biasa digunakan sebagai galon isi ulang air minum 19 liter. Sementara, kemasan PET biasa digunakan untuk botol air minum ukuran 300 mililiter hingga 1 liter dan galon 15 liter.

Sejumlah penelitian mengungkap, BPA berdampak terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen. BPA pada gilirannya berkaitan dengan gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, dan perkembangan kesehatan mental.

Sementara itu, PET dibuat dari, salah satunya, etilen glikol, yang juga berpotensi menimbulkan risiko kesehatan bila dikonsumsi secara ekstrem berlebihan. Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Andi Cahyo Kumoro, turut memberikan pandangannya. 

"Pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya,  paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak. Sedangkan pada ibu hamil bisa memicu keguguran," ujar Prof. Andi dalam keterangannya, Jumat 29 Juli 2022. 

BPA (Bisphenol A).

Photo :
  • NPR

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, turut mendorong rencana pelabelan BPA, agar segera dilaksanakan. Dorongan ini berkaitan dengan masih adanya penolakan atas rencana itu dari kalangan industri air minum dalam kemasan.

“Efeknya jangka panjang. Kalau (BPA) tidak berdampak, kenapa negara maju sudah membatasi dan melarangnya. Langsung saja wajib labelisasi, kok takut pada industri. Produsen kelas dunia  seperti Danone di Prancis sudah mengganti wadah produknya ke jenis plastik yang bebas BPA," jelasnya. 

"Yang jadi pertanyaan, kenapa unit Danone di negara berkembang tidak mengadopsi hal yang sama? Seharusnya sama-sama fair dong. Lagi pula ini kan hanya pelabelan. Masa label saja keberatan," sambungnya. 

Kekhawatiran terhadap efek BPA juga datang dari Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar. Dia mengatakan, BPA berisiko tinggi memengaruhi kesehatan bayi. Pada ibu hamil, BPA dengan mudah masuk ke dalam rantai makanan antara ibu dan bayi. Biasanya BPA ditemukan dalam urine, darah, tali pusar, maupun ASI.  

Sementara itu, dokter spesialis anak sekaligus anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Irfan Dzakir Nugroho, Sp.A, M.Biomed, mengungkapkan, BPA ditemukan di hampir semua anggota tubuh, antara lain disebabkan masifnya penggunaan kemasan pangan.  

Irfan menyampaikan, ada lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari BPA. Beberapa di antaranya antara lain menyebabkan kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, dan obesitas.

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

Bagaimana cara BPA bisa berdampak pada kesehatan? 
BPA diketahui dapat memengaruhi hormon endokrin seperti estrogen, androgen, dan tiroid. Selain itu, paparan BPA yang berlebih bisa  menyebabkan gangguan homeostasis metabolik pada anak, gangguan struktur dan fungsi otak, efek kesehatan di usia selanjutnya pada anak. 

Sedangkan pada usia dewasa atau usia produktif BPA bisa memengaruhi produktivitas dan bisa juga menyebabkan gangguan pada saat kehamilan dan persalinan, termasuk menyebabkan obesitas dan beberapa penyakit metabolik.

Plastik PET
Berbeda dengan kandungan BPA pada polikarbonat, kandungan etilen glikol pada PET tidak memunculkan pengaturan (pelarangan), baik di dalam maupun luar negeri. Sejauh ini, belum ada satu negara pun menerapkan pelabelan terhadap potensi efek etilen glikol pada plastik PET.

Ini bukan karena tidak adanya penelitian lapangan terkait migrasi zat kimia itu dari kemasan PET. Tetapi lebih karena bahaya dan dampaknya pada kesehatan potensinya lebih besar ada pada galon BPA dibanding plastik PET.

Ilustrasi minum dari botol plastik.

Photo :
  • U-Report

Frank Welle, ahli kimia yang berfokus pada interaksi bahan kemasan dengan pangan dari University of Freiburg, Jerman, dalam makalahnya “The Facts about PET” menulis bahwa, jika dibandingkan dengan jenis plastik lain, PET lebih lengai (inert) atau tidak mudah mengalami perubahan kimia. 

Pada gilirannya, menurut Welle, monomer PET, seperti etilen glikol, hanya dapat bermigrasi dalam jumlah yang sangat kecil ke dalam pangan yang dikemasnya. Mengutip penelitiannya pada 2004, dia menunjukkan bahwa tingkat migrasi etilen glikol dari kemasan PET, jauh di bawah batas standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Nilai kompeten berbahaya di dalam kemasan PET seperti etilen glikol dan antimon (yang hanya digunakan sebagai katalis) masih jauh di bawah standar apabila tidak dilakukan perlakuan khusus layaknya percobaan (seperti dipanaskan pada suhu dan jangka waktu tertentu atau direaksikan dengan bahan kimia tertentu)," kata Welle menyimpulkan.