Studi: 3 dari 4 Pasien Rawat Inap Berpotensi Alami Malnutrisi
- Istimewa.
VIVA – Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada pasien rawat inap di rumah sakit. Berbagai penelitian menemukan bahwa komplikasi terkait malnutrisi meningkatkan lama rawat inap dan frekuensi pasien perlu dirawat kembali di rumah sakit, bahkan meningkatkan risiko kematian.
Selain itu, malnutrisi juga meningkatkan kebutuhan biaya yang lebih tinggi terutama untuk membiayai rawat inap yang lebih lama dan kebutuhan obat-obatan yang lebih banyak. Faktanya, kejadian malnutrisi masih banyak terjadi di berbagai negara seperti pada banyak rumah sakit di Asia.
Kondisi ini didapat dari hasil riset yang dilakukan di Asia yang didukung oleh Fresenius Kabi Deutschland GmbH, Germany. Berdasarkan penelitian mengenai malnutrisi pada pasien rawat inap yang dilakukan di 7 negara: Indonesia, Korea Selatan, India, Taiwan, Vietnam, Filipina dan Thailand.
Pada penelitian tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia risiko malnutrisi sedang hingga tinggi terjadi pada 76 persen pasien. Ini berarti 3 dari 4 pasien bedah berpotensi akan mengalami malnutrisi dalam kondisi sedang hingga tinggi. Penelitian tersebut menegaskan bahwa perbaikan nutrisi pada pasien perlu menjadi perhatian.
Spesialis bedah digestif, Dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD, FINACS mengatakan, malnutrisi adalah kondisi yang merujuk pada kekurangan gizi seperti protein, karbohidrat, mineral atau zat mikronutrisi. Malnutrisi disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya kondisi medis pada pasien.
Dia menjelaskan, pemenuhan nutrisi sangat penting untuk mencegah malnutrisi, terutama pada pasien rawat inap di rumah sakit. Dukungan nutrisi sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi dan pemulihan kesehatan secara menyeluruh dari pasien.
"Komplikasi termasuk infeksi, ulkus dekubitus, patah tulang, serta komplikasi paru, ginjal dan hati. Nutrisi yang diberikan pada pasien rawat inap bisa berupa makanan/minuman, nutrisi enteral dan nutrisi parenteral," kata dia, dalam virtual conference, Selasa 24 Mei 2022.
Sementara itu, pada pasien yang tidak bisa menerima makanan dan minuman bisa menerima nutrisi berupa enteral dan parenteral. Nutrisi enteral bisa diberikan secara langsung lewat mulut maupun lewat NGT. Nutrisi parenteral diberikan melalui infus.
Lebih lanjut, dr. Nurhayat mengungkap bahwa dalam riset prevalensi malnutrisi pertama di Asia, Indonesia menjadi bagian dari riset bersama dengan 6 negara lainnya. Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan 54 persen pasien memiliki risiko malnutrisi sedang hingga tinggi.
"Di Indonesia saja, menunjukkan bahwa risiko malnutrisi sedang hingga tinggi terjadi pada 76 persen pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di Asia angka kejadian pada pasien yang mengalami malnutrisi sejak sebelum melakukan operasi atau pasien yang berisiko malnutrisi, cukup tinggi," ujar dia.
Dengan demikian, dukungan perbaikan gizi sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien. Dalam penelitian tersebut, dukungan pemberian nutrisi yang menunjukkan defisit kalori dan protein yang lebih rendah bisa dicapai dengan kombinasi antara pemberian nutrisi parenteral dan nutrisi enteral. Nutrisi parenteral bisa diberikan tunggal apabila pasien tidak bisa menerima nutrisi oral maupun enteral.
Selain menyebabkan dampak bagi kesehatan pasien, malnutrisi juga membebani pasien dan rumah sakit dalam hal pembiayaan. Berdasarkan penelitian, estimasi beban ekonomi yang disebabkan oleh malnutrisi di rumah sakit mencapai USD 30,1 milyar. Tingginya periode rawat inap membutuhkan biaya yang paling besar, setelah itu diikuti dengan tingginya kebutuhan ruang Intensive Care Unit (ICU), dan tambahan pengobatan akibat komplikasi.
"Penelitian sangat signifikan perawatan yang lebih lama terjadi pada orang yang alami malnutrisi, length of stay 7 hari, kalau yang tidak hari ke 4 ke 5 bisa rawat jalan,"ujar dia.
Di Indonesia, total tambahan biaya malnutrisi rumah sakit di Indonesia diestimasi mencapai USD 488 juta atau sebesar 1,61% dari proporsi pembiayaan kesehatan secara keseluruhan, per tahunnya.