Pakar Anjurkan Konsultasi Pernikahan untuk Cegah Talasemia
- TikTok/@szasaccount
VIVA – Talasemia adalah penyakit keturunan (kelainan genetik) akibat kelainan sel darah merah yang dapat menyebabkan penderita harus melakukan transfusi darah sepanjang usianya. Penyakit tersebut bisa dicegah melalui deteksi dini, termasuk konsultasi pernikahan.
Talasemia dapat diturunkan dari perkawinan antara dua orang pembawa sifat. Seorang pembawa sifat talasemia secara kasat mata tampak sehat (tidak bergejala), hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.
Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, mengatakan deteksi dini bertujuan untuk mengidentifikasi pembawa sifat talasemia agar tidak terjadi perkawinan sesama pembawa sifat.
"Sampai saat ini talasemia belum bisa disembuhkan namun dapat dicegah kelahiran bayi Talasemia Mayor dengan cara menghindari pernikahan antar sesama pembawa sifat, atau mencegah kehamilan pada pasangan pembawa sifat talasemia yang dapat diketahui melalui upaya deteksi dini terhadap populasi tertentu,” kata Elvieda, dalam konferensi pers Kementerian Kesehatan RI, Selasa 10 Mei 2022.
Senada, Dokter Spesialis Anak, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia Wahidiyat Sp.A., menyampaikan, perlu melakukan konsultasi sebelum pernikahan agar mengetahui status talasemia pasangan. Apabila ada salah satu sebagai pembawa sifat talasemia, maka sebaiknya dipikirkan kembali untuk menjalani pernikahan.
Sebab, Prof Lia menuturkan, pemicu talasemia adalah adanya pembawa sifat dari salah satu atau kedua orangtua. Maka, kemungkinan untuk mengidap talasemia pun semakin berisiko besar. Secara klinis ada tiga jenis talasemia, yakni talasemia mayor, talasemia intermedia, dan talasemia minor/trait/pembawa sifat.
"Kalau ada satu keluarga talasemia mayor, maka kedua orangtuanya pembawa sifat. Jika menikah antara pembawa sifat dan normal, Maka 25 persen anaknya sakit, 50 persen pembawa sifat, 25 persen anak normal. Risiko itu dari setiap kehamilan," beber Prof Lia, sapaannya.
Gejala talasemia
Gejala talasemia terdiri dari banyak hal, namun paling utama adalah wajah pucat yang terjadi secara perlahan dan kronis. Selain itu, wajah pucat disertai gejala lain seperti hepatomegali (pembesaran hati), tulang pendek, perubahan bentuk wajah, gangguan pubertas, hingga rentan patah tulang.
"Gejala pucat disertai perut membesar ternyata hati membesar (hepatomegali)," tuturnya.
Perubahan wajah biasanya terjadi akibat tulang pipi sebagai tempat utama yang produksi sel darah merah, menjadi lebih menonjol. Selain itu, gigi terlihat lebih maju, batang hidung tak nampak, serta dahi menjadi maju.
"Lebih hitam kulitnya karena sel darah merah pecah membuat besi lebih menumpuk. Ada juga gangguan pubertas seperti belum mens atau baligh di usia 15 tahun. Kalau tulang patah, sulit menyambung karena tidak ada massa tulangnya," imbuhnya.
Prof Lia menyampaikan, penanganan pertama pada anak talasemia adalah dengan membatasi asupan tinggi zat besi seperti daging merah dan jeroan. Ini berbanding terbalik dengan kasus anemia karena kurang zat besi.
"Pada talasemia, gak boleh banyak makan yang mengandung zat besi karena nanti jadi produksi zat besi berlebihan di tubuh. Itu dampaknya berbahaya," bebernya.
Pemeriksaan dan Penanganan Talasemia
Cara mengetahui seorang talasemia dilakukan melalui pemeriksaan riwayat penyakit keluarga yang anemia atau pasien talasemia, pucat, lemas, riwayat transfusi darah berulang, serta pemeriksaan darah hematologi dan Analisa Hb.
Berdasarkan data dari Yayasan Talasemia Indonesia, terjadi peningkatan kasus talasemia yang terus menerus. Sejak tahun 2012 sebanyak 4.896 kasus hingga bulan Juni Tahun 2021 data penyandang talasemia di Indonesia sebanyak 10.973 kasus.
Dari sisi pembiayaan, menurut data BPJS Kesehatan 2020 beban pembiayaan kesehatan sejak tahun 2014 sampai tahun 2020 terus meningkat. Talasemia menempati posisi ke-5 di antara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke yaitu 2,78 triliun tahun 2020.
Pasien talasemia mayor memerlukan transfusi darah secara rutin seumur hidup (2-4 minggu sekali). Berdasarkan hasil penelitian Eijkman tahun 2012, diperkirakan angka kelahiran bayi dengan talasemia mayor sekitar 20% atau 2.500 anak dari jumlah penduduk ± 240 juta.
Pasien talasemia intermedia membutuhkan transfusi darah, tetapi tidak rutin. Sementara pasien talasemia minor/trait/pembawa sifat secara klinis sehat, hidup seperti orang normal secara fisik dan mental, tidak bergejala dan tidak memerlukan transfusi darah.
Deteksi Dini
Kementerian Kesehatan memberikan himbauan kepada pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mendukung upaya pencegahan dan pengendalian talasemia dengan :
– Meningkatkan upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya kelahiran bayi dengan Talasemia Mayor, dengan meningkatkan informasi dan edukasi kepada masyarakat dan melaksanakan skrining/ deteksi dini Talasemia untuk keluarga penyandang Talasemia.
– Melaksanakan deteksi dini pada calon pengantin yang belum memiliki kartu deteksi dini.
– Melaksanakan penjaringan kesehatan pada anak sekolah dengan integrasi program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
– Mendorong kementerian terkait ( Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ) dan lintas sektor terkait lainnya untuk meningkatkan kerjasama dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga semua kebijakan yang ada berpihak pada kesehatan.