Studi: COVID-19 Percepat Penuaan Hingga 20 Tahun
- Pixabay/Tumisu
VIVA – Meski virus corona atau COVID-19 merupakan penyakit pernapasan, namun pasien yang terinfeksi juga mengalami serangkaian efek pada otak, yang menyebabkan beberapa gejala, seperti kabut otak, kebingungan, kehilangan penciuman dan rasa (anosmia) bersama dengan risiko stroke.
Lebih lanjut, beberapa penelitian mengklaim bahwa virus SARS-CoV-2 juga dapat mempercepat penuaan. Sebuah penelitian baru-baru ini yang diterbitkan dalam jurnal kedokteran klinis telah menemukan dampak mental yang bertahan lama dari COVID-19 yang parah bahkan setara dengan 20 tahun usia.
Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of Cambridge dan Imperial College London ini melibatkan 46 peserta yang telah dirawat karena COVID-19 di Addenbrooke's Hospital di Cambridge, Inggris.
Para peneliti menemukan, pasien menderita gangguan atau kehilangan fungsi kognitif yang serupa dengan yang biasa terlihat pada orang berusia 50-70 tahun, atau ketika kehilangan 10 poin IQ. Selain itu, para ilmuwan menemukan bahwa efek ini terjadi 6 bulan setelah pulih dari COVID-19 yang terjadi secara bertahap.
Profesor Adam Hampshire dari Imperial College London, dan penulis studi mengatakan, puluhan ribu orang telah menjalani perawatan intensif karena COVID-19 di Inggris.
"Dan banyak lagi yang sangat sakit, tetapi tidak dirawat di rumah sakit. Ini berarti ada banyak orang di luar sana yang masih mengalami masalah dengan kognisi berbulan-bulan kemudian. Kami sangat perlu melihat apa yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang ini," kata mereka, dilansir Times of India, Kamis 5 Mei 2022.
Dampak pada kemampuan kognitif
Bukti yang berkembang menunjukkan, COVID-19 dapat memengaruhi otak, yang menyebabkan masalah kesehatan mental dan kognitif yang bertahan lama. Gejala seperti kabut otak, kelelahan, gangguan tidur, kecemasan dan PTSD, telah dilaporkan oleh pasien COVID-19 beberapa bulan setelah pemulihan.
Menurut penelitian lain yang juga dilakukan baru-baru ini, pasien COVID-19 yang pulih dan mengalami penyakit parah menderita kehilangan fungsi kognitif.
"Kerusakan kognitif umum terjadi pada berbagai gangguan neurologis, termasuk demensia bahkan penuaan rutin. Tetapi pola yang kami lihat 'sidik jari' kognitif COVID-19 berbeda dari semua ini," ujar penulis studi lainnya, Profesor David Menon.
Pasien yang terlibat dalam penelitian ini mengikuti tes otak rata-rata 6 bulan setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19 dengan menggunakan platform Cognitron. Platform ini mengukur kemampuan mental mereka termasuk memori, perhatian dan penalaran. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Sesuai temuan penelitian, penyintas COVID-19 kurang akurat dan memiliki respons lebih lambat dari orang yang sehat dan tidak terinfeksi COVID-19. Ditemukan juga bahwa dampaknya lebih parah pada orang yang memakai ventilasi mekanis saat terinfeksi virus corona.
"Kami mengikuti beberapa pasien hingga 10 bulan setelah infeksi akut mereka. Jadi kami dapat melihat peningkatan yang sangat lambat," tutur Prof. Menon.
"Meskipun ini tidak signifikan secara statistik, setidaknya menuju ke arah yang benar. Tetapi sangat mungkin bahwa beberapa dari orang-orang ini tidak akan pernah pulih sepenuhnya," tambahnya.
Para peneliti juga mencatat, pasien COVID-19 ringan mungkin memiliki gejala-gejala gangguan ringan, meskipun penelitian ini hanya mengamati pasien yang dirawat di rumah sakit.