Hati-hati Henti Napas Saat Tidur Bisa Serangan Jantung Hingga Kematian
- U-Report
VIVA – Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan kejadian berhentinya napas lebih dari 10 detik yang terjadi secara berulang sepanjang seseorang tidur. Obstructive sleep apnea sering terlambat terdiagnosa pada fase awal yang apabila tidak ditangani dapat menimbulkan berbagai komplikasi kardiovaskular, metabolik, neuroendokrin, hingga kematian mendadak saat tidur.
Kematian mendadak saat tidur kemungkinan terjadi lantaran si pasien memiliki masalah penyakit jantung dan OSA. Lantas bagaimana hubungan diantara keduanya? Terkait hal itu, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, DR. Dr. Agus Dwi Susanto,Sp.P(K), FISR, FAPSR menjelaskan pada pasien dengan penyakit jantung, punya risiko mengalami serangan jantung jika orang tersebut memiliki OSA. Beberapa kasus pasien jantung ini mengalami serangan jantung pada dini hari.
OSA itu dampaknya secara garis besar akan terlihat pada dua aspek satu aspek sleep, kedua aspek obstructive. Aspek sleepnya itu akan berdampak pada kualitas tidurnya, orang OSA cenderung tidurnya terputus-putus karena saluran napasnya mengalami obstruksi kemudian membuat orang itu terbangun.
"Karena pasien jantung dengan OSA itu kalau mengalami obstruksi terutama pada saat tidur dini hari begitu terjadi penyempitan atau obstruksi pada saat tidur maka oksigen yang masuk ke dalam darah menjadi rendah atau kurang, yang ke jantung juga kurang dan dia sudah punya koroner maka akibatnya serang jantung," kata dia dalam virtual conference peringatan Hari Tidur Sedunia, Jumat 18 Maret 2022.
Selain itu, Agus juga menjelaskan bahwa OSA berdampak terjadinya henti napas atau apnea. Apnea atau henti napas adalah kondisi seseorang kekurangan oksigen pada saat tidur.
"Oksigenasi menurun dalam darah kadar oksigen rendah maka terjadinya hipoksia intermiten terjadi kekurangan oksigen berulang. Hipoksia ini akhirnya menyebabkan peradangan kronik pada tubuh yang berdampak pada penyakit degeneratif. Dampak jangka panjang, bisa meningkatkan risiko terjadinya tekanan darah tinggi tidak terkontrol, diabetes tidak terkontrol, risiko kardiovaskuler termasuk stroke," kata dia menjelaskan.
Agus menjelaskan jika mereka yang punya OSA lalu hipertensi dan sudah mengonsumsi obat hipertensi namun tensinya tidak terkontrol itu merupakan dampak dari OSA, demikian juga dengan diabetes.
"OSA harus ditangani selain penyakitnya ditangani. Karena kalau OSA tidak ditangani penyakit tidak terkontrol," ujar dia.
Di sisi lain, Agus menjelaskan bahwa jika dilihat dari faktor terjadinya OSA sendiri jika dilihat dari indeks massa tubuh, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko mengalami OSA. Namun jika dilihat dari gender, laki-laki memiliki risiko mengalami OSA. Hal ini lantaran disposisi lemak, yang mana disposisi lemak antara perempuan berbeda.
"Laki-laki disposisi lemaknya ada di bahu dan leher, yang menyebabkan ada penyempitan pada saluran napas atas. Dari survei prevalensi di China dan AS, menunjukkan laki-laki dengan lingkar leher di atas 40cm berisiko terjadinya OSA. Riset saya di tahun 2014 lalu, menemukan pria dengan lingkar leher di atas 40, dan indeks masa tubuh di atas 35 meningkatkan risiko terjadinya OSA pada laki-laki," kata dia menjelaskan.