Obstructive Sleep Apnea Sebabkan Stroke, Diabetes dan Hipertensi
- Unsplash
VIVA – Obstructive sleep apnea (OSA) gangguan pernapasan yang terjadi saat tidur. OSA ditandai dengan adanya obstruksi jalan napas yang menyebabkan napas berhenti sesaat, baik secara total maupun parsial. Akibatnya, pengidap akan kekurangan oksigen dan berkali-kali terjaga, bahkan terbangun karena merasa tercekik.
"OSA merupakan kejadian berhentinya napas lebih dari 10 detik yang terjadi secara berulang sepanjang seseorang tidur," kata spesialis paru, Dr. Andika Chandra Putra, Ph.D, Sp.P(K), FAPSR dalam virtual conference peringatan Hari Tidur Sedunia, Jumat 18 Maret 2022.
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Andika pada kondisi normal, saluran napas, oksigen bisa mudah keluar dan masuk. Di sisi lain, kondisi tidur ada otot saluran napas atas mengalami relaksasi sehingga menyebabkan adanya hambatan pada masuknya udara ke paru. Hal ini seringkali menyebabkan gangguan tidur pada orang.
Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, DR. Dr. Agus Dwi Susanto,Sp.P(K), FISR, FAPSR menjelaskan OSA berdampak pada dua hal yang pertama adalah dampak pada aspek sleep, dan kedua aspek obstructive.
Untuk aspek sleep, orang mengalami OSA akan berdampak pada kualitas tidurnya, yang mana tidur mereka cenderung terputus-putus karena saluran napasnya mengalami obstruksi. Jika sering terbangun akibatnya membuat kualitas tidur seseorang tidak maksimal.
"Akibatnya ketika bangun mengantuk, bangun tidak fresh, ngantuk sepanjang hari. Kalau mengantuk terus kualitas dalam kehidupan sehari-harinya menurun , pekerjaan tidak efektif, risiko terjadinya kecelakaan baik dalam aktivitas sehari-hari. Riset di S3 saya dampak kecelakaan mengemudi meningkat hampir 2,16 kali. Karena tidur terputus-putus akhirnya mengantuk risiko dalam aktivitas sehari-hari," kata Agus menjelaskan.
Sementara itu, dari aspek obstructive, OSA berdampak terjadinya henti napas atau apnea. Apnea atau henti napas adalah kondisi seseorang kekurangan oksigen pada saat tidur.
"Oksigenasi menurun dalam darah kadar oksigen rendah maka terjadinya hipoksia intermiten terjadi kekurangan oksigen berulang. Hipoksia ini akhirnya menyebabkan peradangan kronik pada tubuh yang berdampak pada penyakit degeneratif. Dampak jangka panjang, bisa meningkatkan risiko terjadinya tekanan darah tinggi tidak terkontrol, diabetes tidak terkontrol, risiko kardiovaskuler termasuk stroke," kata dia menjelaskan.
Agus menjelaskan jika mereka yang punya OSA lalu hipertensi dan sudah mengonsumsi obat hipertensi namun tensinya tidak terkontrol itu merupakan dampak dari OSA, demikian juga dengan diabetes.
"OSA harus ditangani selain penyakitnya ditangani. Karena kalau OSA tidak ditangani penyakit tidak terkontrol," ujar dia.