Banyak Masyarakat Tak Mampu Idap Kanker, Ahli Ungkap Sebabnya

Ilustrasi sel kanker.
Sumber :
  • Pixabay/skeeze

VIVA – Mengonsumsi makanan tinggi garam tidak disarankan karena dapat berdampak buruk bagi kesehatan, tak terkecuali bagi anak-anak. Namun sayangnya, untuk membuat anak mau makan, tak sedikit orangtua yang memberikan makanan tinggi garam pada anak. 

Dokter, Penyair & Penulis di Indonesia, dr. Handrawan Nadesul, mengungkapkan, bahkan sebenarnya bayi tak boleh diberi makan garam. Terlebih mi instan yang mengandung banyak zat aditif

"Nah, itu yang tidak menyehatkan. Makannya itu seperti bakso, bayi di Indonesia sejak awal sudah keracunan bumbu, kita sebut food additive," ujarnya saat Launching Buku Masa Depan Anak Indonesia Terganggu Susu Kental Manis, yang digelar Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Jumat 25 Februari 2022. 

"Food additive itu salah satu penyebab kanker. Jadi kenapa di Indonesia kanker banyak menyerang orang tidak mampu, karena makanannya kerupuk merah itu rodamin B, saus tomat merah itu rodamin B. Berpuluh-puluh tahun konsumsi itu, kanker. Jadi saya kasihan sudah hidupnya papak, kena kanker pula," tambah dia. 

Ilustrasi makanan kaleng

Photo :
  • Pixabay/pasja1000

Dokter Handrawan menjelaskan, jika makanan padat dan tinggi garam diberikan terlalu dini, maka akan menyebabkan gangguan pada pembuluh darah. 

"Jadi kasihan dari kecil kualitas pembuluh darahnya sudah jelek, dan kelebihan kolesterol darah. Jadi anak kalau terlalu cepat diberi makanan padat, dia akan cenderung punya bakat kelebihan kolesterol," ungkapnya. 

Selain itu, Handrawan mengatakan, kebanyakan makanan pendamping ASI (MPASI) juga tinggi garam, yang juga dapat berujung pada hipertensi. 

"Lidah anak itu cita rasanya ibu. Jadi, kalau meja makan ibu asin, maka sampai tua anak itu suka asin. Padahal penyebab hipertensi nomor satu itu garam, bukan daging. Saya suka dengar di masyarakat jangan banyak makan daging nanti hipertensi. Bukan. Daging tidak bikin hipertensi, yang bikin hipertensi itu garam," jelas dia. 

Ilustrasi makanan kaleng

Photo :
  • Pixabay

Lebih lanjut Handrawan membandingkan aturan konsumsi garam di Indonesia dengan Singapura, yang jauh berbeda. 

"Orang Indonesia itu makan garam 15 gram satu hari, kebutuhan tubuh cuma 5 gram, kita kelebihan 5 gram. Maka itu di Singapura, pemerintah ikut campur, restoran tidak terlalu asin," katanya. 

"Pemerintahnya bilang, jangan asin-asin nanti rakyat kita sakit semua. Di kita kan bebas. Makanya itu literasi pembelajaran bahwa asin itu tidak sehat, dan jangan diciptakan sejak kecil," imbuh dr. Handrawan Nadesul.