Waspadai Penularan Omicron, Pakar: Pantau Kerumunan Jelang Ramadhan
- Pixabay/mattthewafflecat
VIVA – Sesditjen Kesehatan Masyarakat dan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menuturkan bahwa gelombang ketiga COVID-19 sudah di depan mata dengan peningkatan kasus secara signifikan. Meski begitu, Nadia meyakini keparahan kasus kali ini berbeda dengan dua gelombang COVID-19 sebelumnya.
Dokter Nadia menjelaskan bahwa jika dibandingkan dengan gelombang kasus varian Delta pada pertengahan 2021, di mana puncak kasus positif mencapai angka 56.000, saat ini pemerintah melihat adanya tren peningkatan jumlah kasus dengan varian Omicron yang sudah menyentuh angka 64.700 pada pertengahan Februari 2022.
"Tentunya kita harus bersiap-siap dan waspada akan datangnya gelombang ketiga setelah melihat pola peningkatan kasus positif COVID-19 saat ini. Setelah menghadapi gelombang pertama dan kedua, serta dengan melihat perkembangan dan langkah yang diambil oleh negara lain, kita semakin memahami pola transmisi COVID-19 khususnya saat ini varian Omicron," dalam acara virtual DBS Asian Insights Conference 2022, baru-baru ini.
Tingkat Kematian dan Keparahan Omicron Lebih Rendah dari Delta
Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Akan tetapi, pemerintah terus memantau tren dan pola tersebut serta optimis dapat menekan transmisi varian Omicron. Terlebih, tingkat kematian per hari pada varian Omicron jauh berbeda dibanding Delta. Juga, keterisian perawatan rumah sakit yang masih di bawah ambang nasional.
“Jika pada gelombang kedua, tingkat kematian per hari dapat mencapai 2.500, pada varian Omicron kali ini, tingkat kematian jauh lebih rendah dengan angka 180. Dilihat dari sisi keterisian perawatan rumah sakit (Bed Occupancy Rate atau BOR), pada gelombang varian Delta secara nasional mencapai lebih dari 60 persen, saat ini tingkat keterisian perawatan rumah sakit nasional berada pada 30 persen," terang Nadia.
Sehingga, menurut Nadia, dalam segi penanganan, belum perlu dilaksanakan “penarikan rem darurat”. Tetapi, pemerintah tetap memberlakukan pembatasan mobilitas dan PPKM level tiga, dibarengi dengan percepatan vaksinasi, testing, dan tracing.
Senada, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa COVID-19 akan selalu ada dengan kemungkinan akan bermutasi ke varian-varian lain di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu untuk tetap kita waspadai.
Tetap Waspadai Penularan COVID-19 Hingga Maret 2022
"Walaupun jumlah kematian akibat Omicron lebih rendah dari varian Delta dan gejala yang ditimbulkan tidak separah gelombang-gelombang sebelumnya, namun korban jiwa tetap ada. Mengingat setiap nyawa masyarakat Indonesia berharga, maka diperlukan upaya maksimal dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adaptif terhadap keadaan dengan mempertimbangkan saran-saran para ahli sehingga dapat mengatur laju penularan," sarannya di kesempatan yang sama.
Di sisi lain, pakar mikrobiologi Universitas Indonesia Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D, memaparkan agar dapat berkaca dari negara-negara lain, di mana prediksi puncak kasus COVID-19, khususnya varian Omicron, muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi. Sehingga, diharapkan pola yang sama juga terjadi di Indonesia.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu memantau pergerakan masyarakat, terutama menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran untuk mengurangi kerumunan. Apabila hal tersebut berhasil dijalankan bersama upaya-upaya lainnya, maka diperkirakan bahwa Indonesia akan mencapai puncak kasus COVID-19 pada Maret 2022," pungkasnya.