Ini Alasan Orang Indonesia Lebih Pilih Berobat Kanker di Luar Negeri

Penyakit kanker.
Sumber :
  • Freepik

VIVA – Bagi para penderita kanker yang tidak terkendala masalah biaya, biasanya mereka akan lebih memilih untuk menjalani pengobatan kanker di luar negeri. 

Koordinator Kanker Paru Cancer Information and Support Center, Megawati Tanto, turut mengungkap beberapa alasan mengapa orang Indonesia lebih memilih berobat kanker ke negeri orang, dibanding negaranya sendiri. 

"Teman-teman yang memilih berobat ke luar negeri karena ada beberapa alasan. Pertama dari sisi pelayanan, fasilitas yang lebih lengkap dan penyediaan informasi yang baik. Jadi diagnosisnya lebih cepat dan akurat," ujarnya saat konferensi pers memperingati Hari Kanker Sedunia, yang digelar virtual, Selasa 8 Februari 2022. 

Selain itu, menurut Mega, di luar negeri tersedia obat inovatif untuk kanker yang lebih lengkap, karena Indonesia cenderung terlambat untuk obat-obat baru. Jika di negara tetangga sudah tersedia obat terbaru, Indonesia baru menyusul 1-2 tahun kemudian. Tidak hanya itu, bagi pasien kanker yang tinggal di daerah, masalah jarak juga turut memengaruhi. 

"Kadang memang dari segi biaya, transportasi, temen-temen dari luar kota untuk ke Jakarta, mungkin sama mahalnya untuk ke luar negeri. Tapi tentu, dolar sama rupiah tentu beda. Tapi sebenarnya sebelum pandemi ini, banyak yang berobat ke Penang atau Kuala Lumpur (Malaysia). Karena untuk teman-teman yang di Medan, mereka kan berobatnya (lebih dekat) ke Penang," paparnya. 

Ilustrasi Kanker

Photo :
  • Times of India

"Kami sebenarnya sebagai pasien kanker akan lebih nyaman kalau kita bisa berobat di negeri sendiri. Kadang-kadang pasien kanker paru itu juga gak nyaman untuk ke luar negeri, karena keadaannya sudah buruk," tambah Megawati Tanto yang juga penyintas kanker paru. 

Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Subspesialisasi Hematologi-Onkologi Medik, DR. dr. Andhika Rahman, Sp.PD-KHOM, menambahkan, ada dua faktor yang memengaruhi keputusan penderita kanker yang akhirnya lebih memilih berobat ke luar negeri. Pertama dari sisi pasien, kedua dia tak menampik adanya kesalahan dari tenaga pelayanan Indonesia. 

"Kalau dari pasien sendiri, kalau orang dari daerah akan lebih senang berobat di tempat yang beda, dia akan berobat di tempat yang lebih tinggi. Jadi kalau misal di daerah, Jakarta menjadi satu patokan. Buat gengsi juga dan sebagainya," ungkapnya. 

"Yang kedua, dari Jakarta tentu orang akan berobat ke tempat yang lebih. Itu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat juga sama, akan di tempat yang lebih bagus dan sebagainya," lanjut dia. 

Alasan kedua, Andhika tak memungkiri bahwa ada kesalahan-kesalahan kolektif dari penyedia fasilitas kesehatan. 

"Misalnya saya pernah dapet pasien kanker paru kemudian nanya 'dok saya di Singapura dapat immunotherapy, ada gak di sini?' Ini kita udah jalan 3 tahun dari 2019 immunotherapy sudah ada. Dan juga seperti yang ibu Mega katakan, ini memang terjadi, karena Medan lebih dekat dengan Penang, orang akan lebih cepat ke sana. Orang di Kalimantan Utara akan lebih senang ke Serawak," pungkas dia. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, turut mengungkap hal yang paling menjadi masalah di Indonesia, yaitu terlalu banyak prosedur. 

"Yang ada di Indonesia dan ingin berobat di Indonesia, prosedurnya itu berkali-kali kita minta. Kita udah ajarin dokter-dokter di puskesmas, kalau punya faktor risiko segala macam, maka segera rujuk, jangan dibuat rujuk bertingkat," imbuhnya. 

"Kalau sudah kita ajarkan pengendalian faktor risiko, kalau udah disosialisasikan di puskesmas, itu akan lebih cepat. Dia tahu, dia kita ajari ini faktor risiko, ini gejala-gejalanya, kamu harus memikirkan. Hanya dengan foto thorax harusnya sudah memikirkan, ini kemungkinan besar kanker paru. Maka rujuknya jangan berjenjang. Nah, ini yang bikin masalah sampai ke penanganan yang baik," tukas Prof. Elisna.