Hari Kanker Sedunia, Ini Kasus Paling Dominan di Indonesia
- Times of India
VIVA – Hari Kanker Sedunia diperingati setiap 4 Februari. Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan kasus tertinggi. Menurut data Globocan, terdapat 66 ribu kasus baru kanker dengan tingkat kematian mencapai 22 ribu jiwa.
Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia, Linda Agum Gumelar, mencatat, dari angka tersebut, 70 persen meninggal karena datang pada stadium lanjut. Sedangkan jenis kanker yang paling banyak diderita di Indonesia adalah kanker payudara.
Menurut data rekam medis RS Kanker Dharmais, kasus baru kanker payudara di Indonesia pada 2020, mencapai 1193 kasus dan kanker serviks 342 kasus. Linda menyampaikan, 70 persen kasus bahkan sudah dalam stadium lanjut. Lalu, apa penyebab pasien datang dalam kondisi sudah terlambat?
"Pasien datang 70 persen dalam stadium lanjut saya kira bukan di Dharmais saja. Tapi ini data secara keseluruhan. Bahwa memang itu kondisinya," ujarnya saat Temu Media dalam rangka Hari Kanker Sedunia dengan tema Close the Care Gap, yang digelar virtual, Rabu 2 Februari 2022.
Linda melihat, ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, adalah pasien delay, artinya ada keterlambatan dalam penanganan pasien.
"Yang penyebabnya antara lain, mungkin keterbatasan pengetahuan, skrining dan deteksi dini atau tidak mempunyai biaya untuk berobat, ketakutan yang amat sangat, atau bisa juga dia enggan berobat ke dokter dengan lebih memilih pengobatan alternatif," kata dia.
Jarak tempuh ke rumah sakit terdekat yang terlampau jauh juga menurut Linda turut berkontribusi. Termasuk soal biaya pengobatan sehingga terjadilah pasien delay.
"Yang kedua kebijakan BPJS yang cukup kompleks dan tidak semuanya di-cover untuk penanganan kanker payudara. Mereka keadaan ekonominya juga terbatas. Sehingga mereka menunda-nunda untuk berobat," tuturnya.
Kemudian, penyebab berikutnya adalah dari sisi sarana dan prasarana. Diketahui, Faskes tingkat 1 dan 2, tidak didukung dengan peralatan yang memadai, seperti USG payudara hingga alat deteksi dini kanker payudara.
"Saya lihat gak ada alat USG payudara, apalagi alat mamografi. Dan pasien harus pergi ke tingkat yang lebih tinggi. Artinya dia harus pergi lagi jauh. Nah ini memerlukan waktu yang cukup lama, biaya yang tidak murah, tidak dekat jaraknya. Ini menyebabkan hal-hal sehingga mereka menunda (pengobatan). Ini yang kami alami juga dalam pendampingan yang hampir 500 pasien-pasien kanker payudara," kata dia.
"Tapi dengan kebijakan perihal pemilihan beberapa rumah sakit tertentu untuk penanganan kanker payudara. Saya kira ini angin segar, agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada calon-calon atau pasien kanker payudara yang ingin berobat," ujarLinda Agum Gumelar.
Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, menambahkan, saat ini Kemenkes tengah bertransformasi untuk penanganan pasien kanker ini.
"Jadi, nantinya akan ada rujukan atau pun rumah sakit-rumah sakit (kanker) di setiap provinsi. Maka nanti di setiap kabupaten kota (ada RS) sesuai dengan kompetensinya untuk penanganan kanker ini nantinya," kata Elvieda.