Penyintas COVID-19 Rentan Alami Gangguan Tidur, Ini Alasannya
- Freepik/freepik
VIVA – Kita baru saja mulai menarik napas lega dengan semakin banyaknya masyarakat yang mendapat vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Namun, ada persoalan baru yang perlu diantisipasi lebih saksama dengan merebaknya varian Omicron yang penyebarannya dinilai lebih cepat, yakni post-covid syndrome, yang dapat menyerang tak hanya fisik, tetapi juga mental.
Sebuah studi observasional terhadap lebih dari 230.000 rekam medis pasien yang dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry (April 2021) menyatakan bahwa satu dari tiga orang penyintas COVID-19 akan mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu enam bulan setelah terinfeksi virus COVID-19.
Gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan menurut studi tersebut adalah insomnia dan gangguan kecemasan. Sebanyak tiga belas persen dari pasien COVID-19 terdiagnosis mengalami keluhan ini.
"Diagnosis tersebut menjadi diagnosis pertama kali. Artinya, mereka tidak pernah memiliki riwayat gangguan tersebut sebelumnya," ujar Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RS Pondok Indah–Puri Indah, dr. Leonardi A. Goenawan, Sp.KJ, dalam keterangan persnya, Senin, 10 Januari 2022.
COVID-somnia
Istilah ‘COVID-somnia’ atau ‘Corona-somnia; mulai dikenal sekitar musim panas 2020 untuk menggambarkan dampak pandemi global terhadap pola tidur seseorang. Data yang diperoleh dari hampir seluruh belahan dunia memperlihatkan adanya jumlah besar populasi yang mengalami kesulitan tidur.
Pada 2020, British Sleep Society melaporkan bahwa kurang dari separuh penduduk Inggris mendapatkan ‘tidur yang menyegarkan’.
Sementara di Amerika Serikat, masalah kurang tidur sudah dianggap sebagai epidemi oleh CDC (Centers for Disease Control). Sejak berlangsungnya pandemi, kasus insomnia semakin meningkat hingga mencapai empat puluh persen.
Gangguan tidur selama pandemi COVID-19 ini disebut sebagai ‘tandemic; (epidemi yang disebabkan oleh, diperburuk oleh, dan berjalan beriringan dengan pandemi) oleh Dr. Abinav Singh, seorang direktur medis The Indiana Sleep Center.
Pandemi COVID-19 telah mengubah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orang tua menyesuaikan diri dengan sekolah jarak jauh. Jutaan pekerja beralih pada pekerjaan jarak jauh, dirumahkan atau kehilangan pekerjaan sama sekali. Banyak orang yang mengalami penyakit dan kehilangan anggota keluarganya karena COVID-19.
"Belum lagi adanya ketidakpastian sosial ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila seseorang mengalami kesulitan tidur, dengan begitu banyak beban dan kecemasan yang datang secara simultan," imbuh dokter yang juga praktik di RS Pondok Indah-Bintaro Jaya itu.
Pemicu gangguan tidur
Meningkatnya stres
Stres emosional akibat pandemi dapat mengubah arsitektur tidur, memperpendek durasi gelombang lambat yang bersifat restoratif, meningkatkan REM (rapid eye movement) dan cenderung membuat seseorang lebih sering terbangun di malam hari.
Dalam suatu penelitian, dikatakan bahwa kondisi ini dapat tetap terjadi selama dua tahun setelah seseorang mengalami tekanan emosional yang berat seperti pada pandemi ini.
"Stres juga akan meningkatkan kadar kortisol, suatu hormon yang bekerja berlawanan dengan melatonin, hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur. Selama hormon kortisol kita tetap dalam konsentrasi yang tinggi, maka produksi melatonin akan terganggu, sehingga kualitas tidur juga akan terganggu," ujarnya.
Terjebak di rumah karena menjalankan lockdown juga memberikan tekanan tersendiri. Tidak bisa keluar rumah selama berhari-hari, melakukan segalanya dari rumah, bersama seluruh anggota keluarga yang juga sedang berusaha menyesuaikan diri untuk belajar ataubekerja secara daring, kurangnya paparan sinar matahari, selain menimbulkan stres, juga akan mengganggu irama sirkadian (proses alami yang mengatur siklus tidur-bangun setiap harinya).
Hilangnya rutinitas harian
Protokol untuk menjaga jarak mengubah banyak aspek dalam menjalankan kesenangan pribadi hingga kehidupan sosial. Hilangnya berbagai aktivitas ini akan menimbulkan perasaan terisolasi dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Sementara berbagai aktivitas yang normal memiliki kontribusi yang besar untuk menjaga kestabilan irama sirkadian, karena berfungsi sebagai penanda waktu.
Sejak pandemi, seluruh aktivitas ini menjadi sangat minimal bahkan hilang. Ketiadaan aktivitas rutin tersebut cenderung membuat tidur lebih larut dan bangun lebih siang. Di samping kualitas tidur menjadi buruk, gangguan pada irama sirkadian tersebut juga akan berdampak pada fungsi biologis lainnya, termasuk pencernaan, respons imunitas, dan lainnya.
Peningkatan konsumsi informasi
Terlalu banyak mengonsumsi informasi akan secara bermakna meningkatkan tekanan mental dalam bentuk kecemasan dan ketakutan. Belum lagi berhadapan dengan disinformasi dan hoaks.
"Durasi kita berada di depan monitor (screen time), dikaitkan dengan menurunnya kualitas tidur, terutama apabila dilakukan pada malam hari. Sinar biru dari monitor akan merangsang tubuh kita untuk mempertahankan kadar kortisol tetap tinggi dan menekan produksi melatonin," pungkasnya.