Ahli: Varian Delta Masih Mendominasi Kasus COVID-19 di Indonesia

Ilustrasi COVID-19/virus corona
Sumber :
  • Pixabay/Tumisu

VIVA – Kasus COVID-19 di Indonesia terus mengalami penurunan. Hal itu turut disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. 

"Kalau kita lihat laju penularan kita semakin baik, artinya semakin turun angka COVID-19. Angka positivity rate kita terus turun pada angka 0,09, yang tadinya 0,17 dan 0,2. WHO sendiri kan angkanya kurang dari 5 persen, artinya positivity rate-nya sudah baik. Kita itu 0,09 persen berarti sangat rendah," ujarnya saat webinar VIVA Talk 'Natal & Tahun Baru Aman Tanpa COVID-19', yang digelar Rabu, 15 Desember 2021. 

Nadia menambahkan, angka kasus COVID-19 di Indonesia pun sudah di bawah 200. Pun, dengan angka kematian yang juga mengalami penurunan, di bawah 15 kasus. 

"Kalau lihat kondisi ini, laju penularan kita sudah tertangani dengan baik. Artinya, kalau kita melihat angka reproduksi dari virus itu pasti kurang dari satu," kata dia. 

Ilustrasi COVID-19/virus corona

Photo :
  • Pixabay/mattthewafflecat

Kendati demikian, Nadia mengungkapkan varian Delta masih mendominasi kasus COVID-19 di Indonesia, bahkan masih terus bermutasi. 

"Dari pemeriksaan genome sequencing, varian Delta yang kita tahu bulan Juli kemarin menjadi luar biasa yang harus kita hadapi situasinya, itu terus masih mendominasi jenis virus yang ada di negara kita. Bahkan dia bermutasi sampai dengan 22 jenis mutasi," ungkapnya. 

Meski varian terbaru COVID-19, Omricon hingga saat ini belum terdeteksi di Indonesia, Nadia menyampaikan kita tetap mengantisipasi dengan melakukan berbagai tindakan pencegahan, terutama menjelang libur Natal dan Tahun Baru. 

"Di sisi lain kita melihat bahwa adanya varian baru di akhir November diumumkan (Omicron), yang dikatakan lebih mengkhawatirkan dari varian Delta. Nah dengan kondisi seperti itu, Pemerintah mencoba untuk menyesuaikan bagaimana kita mengantisipasi situasi Natal dan Tahun Baru," terang dia. 

Ilustrasi COVID-19/virus corona

Photo :
  • Pixabay/geralt

Dalam kesempatan itu, Nadia turut menyampaikan alasan mengapa PPKM level 3 tidak jadi diterapkan. 

"Awalnya kita secara rata akan melaksanakan PPKM level 3 di seluruh kabupaten kota. Tapi dengan perkembangan waktu ternyata banyak Kabupaten kota yang sudah pada level 2 dan 1. Apalagi angka positivity rate kita sampai di bawah 0,1 - 0,09. Artinya kalau kita melakukan PPKM level 3, hampir 3/4 aktivitas yang sudah kita longgarkan, harus terpaksa rem mendadak lagi," tuturnya. 

"Kalau kita rem mendadak kadang-kadang agak sulit untuk merevitalisasinya. Akhirnya kita tidak menggunakan PPKM level 3 di seluruh kabupaten kota. Tapi kita punya pengaturan-pengaturan yang lebih fokus pada membatasi mobilitas, memastikan protokol kesehatan untuk dilaksanakan dan melakukan percepatan vaksinasi," pungkas dr. Siti Nadia Tarmizi.