Cegah Omicron, Satgas COVID-19: Jangan Main-main dengan Karantina
- pexels/Edward Jenner
VIVA – Pemerintah masih berjibaku mengendalikan kasus COVID-19, terutama varian Omicron yang menurut WHO telah terdeteksi di lebih dari 70 negara. Regulasi yang menjadi fokus dalam pencegahan varian Omicron adalah masa karantina COVID-19 bagi masyarakat yang kembali dari luar negeri.
Regulasi terkait karantina tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor 23 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi COVID-19. Adendum SE ini menyebut masa karantina COVID-19 berlaku selama 10 hari.
Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19, dr. Alexander K Ginting mengatakan, karantina merupakan benteng perlindungan antisipasi terjadinya transmisi penularan varian Omicron.
"Karantina setelah pengawasan pada check point kedatangan hingga check point ke-7 di kepabean. Tidak ada jalan keluar dari rantai di check point. Semua terkunci karena mereka dijemput," kata Alexander dalam webinar bertema 'Belajar dari Delta, Waspada Omicron', yang digelar Selasa, 14 Desember 2021.
Menurut Alexander, karantina jangan dianggap sebagai peraturan yang menyandera, namun instrumen perlindungan menjaga keselamatan bagi semua di Indonesia.
Ia menyatakan, karantina tidak dapat ditawar. Pasalnya, aturan karantina sesuai dengan Undang-undang Karantina dan Undang-undang Wabah Penyakit Menular.
"Memang satu persoalan yang harus disosialisaskan. Karantina bukan aksesori. Jangan bermain-main. Kita berhadapan dengan UU Karantina dan UU Penyakit Wabah Menular," ujarnya.
Saat ini terdapat dua jenis karantina. Karantina pertama diperuntukkan untuk mereka yang datang dari luar negeri untuk kepentingan dinas luar negeri, mahasiswa, dan pelajar akan dikarantina di Wisma Pademangan. Karantina kedua bagi mereka yang pulang dari luar negeri untuk berekreasi akan di karantina di hotel yang telah disiapkan.
Presiden Indonesian Society of Human Genetics (InaSHG) sekaligus Koordinator Pokja Sains Garda Depan ALMI, dr. Gunadi, PhD, menyatakan, varian Omicron memiliki kencederungan transmisi lebih cepat dari Delta. Hal itu mengacu pada pernyataan WHO pada 10 Desember 2021 lalu.
"Dua negara menjadi contoh, pertama Afrika Selatan di mana kasus Delta rendah namun populasi Omicron mendominasi. Contoh negara kedua adalah Inggris, varian Delta sekitar 20 persen menguasai Inggris dan Omicron 40 persen mengusai London. Dari sini, data awal WHO ada kemungkinan Omicron lebih menular dari Delta," tuturnya.
Menurut Gunadi, mengenai tingkat keparahan, secara umum WHO menyebut Omicron memiliki gejala lebih ringan dari Delta. Lebih lanjut Gunadi memaparkan, dalam technical breef WHO, Omicron bisa memengaruhi efektivitas vaksin.
"Tapi vaksin masih bisa untuk proteksi terhadap keparahan. Vaksin masih utama selain prokes. Untuk keparahanan dan kematian lebih baik dibanding yang tidak divaksin," papar Gunadi.