Varian Omicron Bakal Berdampak Besar? Begini Kata Ahli

Virus Omicron
Sumber :
  • Times of India

VIVA – Dunia harus kembali dihadapkan dengan mutasi virus COVID-19 baru B.1.1.529. Jumat 26 November kemarin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasikan varian B.1.1.529 yang terdeteksi di Afrika Selatan sebagai "variant of concern" SARS-CoV-2 pada 26 November 2021.

Direktur Pascasarjana YARSI, dan Guru Besar FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama menjelaskan bahwa dinaikkannya status varian omicron dari variant of interest di tanggal 24 November menjadi varian of concern di tanggal 26 November lalu lantaran banyaknya mutasi pada varian Omicron.

"Kenapa dinaikkan, karena mutasinya banyak lebih dari 30 yang berubah dan belum pernah ada sebanyak ini. Karena itu tentu saja ada kecurigaan ini perlu diwaspadai karena banyak varian lain plus ada beberapa mutasi baru jadi bergabung delta alfa jadi orang berpikir ini sangat perlu diwaspadai. makanya ditaruh ke VOC," kata dia dalam acara VIVATalk, Rabu 8 Desember 2021.

Lantas seberapa bahayakah varian Omicron? Terkait hal itu, Prof. Tjandra menjelaskan perlu melihat enam hal. Pertama terkait dengan sejauh mana virus ini mudah menular. Dijelaskannya, sejauh ini berkaca dari kasus yang ada di Afrika Selatan, tempat awal ditemukannya varian ini memang ditemukan peningkatan kasus.

Ilustrasi virus corona COVID-19

Photo :
  • pixabay

"Tetapi kasusnya sudah naik sekali dan menyebar hampir 50 negara, tetapi kenaikan di Afrika Selatan itu harus diteliti lebih lanjut, dianalisa harus lebih dalam apakah mudah menular atau tidak. Karena di beberapa negara hanya beberapa pasien omicron saja, atau lima atau 10, di Afrika Selatan banyak," kata dia.

Kedua, kata Prof Tjandra, soal berat ringannya suatu penyakit. Belakangan ramai di media sosial yang menyebut bahwa laporan kasus di Afrika Selatan kasus omicron cukup ringan.

"Tapi beberapa waktu lalu ada penelitian yang dipublish namun belum dilakukan preview bahwa kasusnya sebagaian besar ringan cuman sekali lagi kasusnya masih sedikit jadi belum bisa dikatakan bahwa nanti banyak akan seperti itu belum tentu juga. Kebetulan kasusnya ringan pada orang muda kita belum tau belum punya data kalau terkena pada orang tua seperti apa," jelas dia.

Ketiga apakah kemungkinan infeksi ulangan orang yang sudah sakit kemudian negatif positif lagi. Itu memang sudah ada beberapa bukti bahwa mungkin terjadi infeksi ulang, tapi sekali lagi jurnal ilmiahnya masih di analisa, kata dia.

Keempat apakah ada gangguan terhadap tes diagnosis tes PCR, Antigen yang sudah ada. Saat ini fenomena metode SGTF untuk mendeteksi varian Omicron dimana hasil tes PCR tak mampu mendeteksi gen S pada sampel.

"Yang S ini tidak bisa diperiksa jadi negatif kalau omicron yang lain masih bisa. Artinya PCRnya masih bisa dipakai untuk mengetahui seseorang sakit covid apa enggak Gen S gak ada, ini bisa dipakai untuk data awal. Kalau gen Snya enggak ada kita bisa curiga jangan-jangan omicron meski harus diperiksa Genom Sequence," kata dia.

Kelima, dampaknya pada vaksin. Prof Tjandra menjelaskan untuk mengetahui hal ini butuh waktu apakah adanya penurunan atau tidak.

"Kalau ada berapa persen penurunannya akibat vaksin itu mesti diteliti lebih lanjut. Beberapa produsen vaksin sudah kadung bilang tampaknya perlu vaksin baru makanya orang heboh, tapi seharusnya butuh waktu setidaknya dua minggu setelah 29 november berapa bahayanya," jelas dia.

Keenam, seberapa dampaknya pada obat. Sejauh ini obat yang ada itu masih bisa dipakai untuk menangani kasus covid tidak ada data spesifik soal omicron, kata dia.