Telemedicine Amankah Digunakan?
- Dokumentasi AMSI
VIVA – Bagai mata pisau yang memberi manfaat sekaligus berbahaya, telemedicine hadir dengan perumpamaan tersebut. Akan sangat bermanfaat di masa pandemi COVID-19, namun minimnya regulasi membuat telemedicine bisa membahayakan nyawa.
Dipaparkan Sekjen PERSI, Dr. dr. Lia Partakusuma bahwa sekitar 60 persen rumah sakit telah menggunakan digital health yang kekinian. Pemanfaatannya pun sudah digunakan untuk berbagai hal yang artinya percepatan digital di kesehatan sudah cukup baik.
"Hanya saja kekurangannya bahwa mereka (fasilitas kesehatan) mulai dengan coba-coba. Misal dengan aplikasi WhatsApp, atau situs yang lain-lain," ujar dokter Lia dalam acara virtual Indonesia Digital Conference, Kamis 25 November 2021.
Dijelaskan dokter Lia, perbedaan mencolok dari digital health dan konsultasi secara konvensional adalah dalam tahapannya. Pada pemeriksaan konvensional, urutan seorang dokter memeriksa adalah dengan anamnesis (wawancara) lalu pemeriksaan fisik.
"Secara gampang ya, sudah ditanya keluhan misal sakit perut lalu kita periksa mulai dari tanda vital, tensi naik tidak. Kalau ya, kemungkinan ada kuman, lalu periksa lab. Bikin kesimpulan ada infeksi saluran cerna bisa dikasih obat dan tidak perlu operasi," jelas dokter Lia.
Rangkaian tersebut biasanya dikerjakan agar mendapat kesimpulan diagnosis yang tepat dan mendalam sehingga pasien mendapat perawatan yang sesuai. Namun dengan hadirnya digital health, tentu konsultasi tak bisa lagi dengan rangkaian pemeriksaan fisik dan lab.
Hal ini yang seolah menjadi pisau bermata dua. Alih-alih mendapat diagnosis tepat, dokter bisa salah dan memberi perawatan yang tak sesuai. Maka dari itu, dokter Lia menuturkan pentingnya regulasi yang sudah tercantum di Peraturan Menteri Kesehatan, di mana seseorang yang mengikuti telemedicine seharusnya mereka yang sudah pernah bertemu langsung dengan dokter maupun terdaftar secara riwayat kesehatan.
"Artinya dia ada catatan. Kondisinya seperti apa sih dia. Artinya dokter ada pandangan tertentu pada orang ini. Lihat medical record baru kasih obat," terangnya.
Namun, sayangnya untuk peraturan lebih detail belum disediakan oleh pemerintah. Peraturan yang minim bisa membahayakan pasien dan tenaga kesehatan yang praktik, khususnya dalam pemberian resep obat.
"Butuh ada 1 regulasi jangan sampai kalau ada apa-apa misal dia alergi. Dokternya virtual, enggak tahu berdiri (praktik) di mana, dia harus cepet ke situ. Kalau ada jaringan akses, kalau ada apa-apa segera ke sini, misalnya, artinya pasien diberikan perlindungan. Pasien juga harus well inform," tegasnya.