Survei: Warga Jabodetabek Masih Salah Kaprah Soal Kualitas Udara
- VIVAnews/ M Ali Wafa
VIVA – Polusi udara bisa menjadi salah satu bahaya kesehatan terbesar yang mudah dijumpai di mana saja. Meski begitu, masih banyak masyarakat salah memahami tentang kualitas udara yang baik.
Hal tersebut terungkap dalam Survei Katadata Insight Center (KIC) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Udara di Indonesia. Survei dilakukan pada 23 - 29 Agustus 2021 terhadap 1.570 warga Jabodetabek secara online.
Hasil survei menunjukkan, warga Jabodetabek secara umum merasakan dampak kualitas udara dengan munculnya rasa tidak nyaman saat menghirup udara. Ini tercermin dari kebiasaan menggunakan masker oleh 59,2 persen warga Jabodetabek jauh sebelum pandemi.
Mereka juga mengaku merasakan sejumlah gangguan kesehatan seperti batuk dan bersin (44,6 persen), sakit kepala atau pusing (44,3 persen), iritasi pada mata, hidung, tenggorokan dan kulit (42 persen).
“Gejala lain juga dirasakan seperti kelelahan, iritasi kulit, sesak napas, nasal drip, hipersensitivitas, alergi dan lainnya juga dirasakan warga. Gejala-gejala ini umumnya juga dipicu oleh kualitas udara yang buruk, tanpa mereka sadari," ujar Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri dalam webinar Rilis Temuan Survei Polusi Udara Minim Dibicarakan Padahal Berbahaya, Rabu 17 November 2021.
Sebanyak 54,5 persen responden mengaku tinggal di kawasan yang udaranya berdebu dan bercampur asap kendaraan dan 45,7 persen mengaku suhu udara meningkat. Namun, warga tampaknya masih kurang menyadari atau belum mengetahui dimensi-dimensi persoalan kualitas udara.
Mulya juga mengatakan, dari hasil survei terungkap sebanyak 45,9 persen warga Jabodetabek masih menganggap warna langit biru cerah sebagai indikator udara bersih. Hanya 15,4 persen yang menggunakan alat pemantau atau aplikasi sebagai rujukan untuk mengetahui kualitas udara. Sementara pengetahuan lebih dalam dan jauh, misal mengenai PM 2,5 masih sangat minim diketahui (22,1 persen).
"Padahal, jenis partikulat ini membahayakan kesehatan, karena berukuran sangat kecil sehingga dapat menembus bulu hidung atau paru-paru dan menimbulkan penyakit," kata dia.
Kualitas udara
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang melakukan berbagai aktivitas yang berdampak buruk pada kualitas udara. Sebanyak 8,9 persen warga Jabodetabek masih mengelola sampahnya dengan cara dibakar serta masih banyak pula yang merokok (32,5 persen) yang diketahui bisa memberikan dampak tak baik bagi kesehatan pernapasan.
Penggunaan produk spray juga masih umum dilakukan warga Jabodetabek. Meski merasakan dampak buruk dan kondisi udara yang tak nyaman, sebagian masyarakat tetap menganggap kualitas udara saat ini masih baik-baik saja. Jika diberikan rentang 1-10, responden Jabodetabek memberi nilai 6,59 untuk kualitas udara yang dirasakan saat ini.
Menurutnya, hal ini menunjukkan masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai udara bersih, serta perlu aksi bersama untuk memperbaikinya.
Co-Founder dan Chief Growth Officer NAFAS, Piotr Jakubowski juga mengungkapkan hal senada. Masih banyak masyarakat salah persepsi tentang kualitas udara bersih.
"Kesalahpahaman masyarakat tentang polusi udara seperti langit biru berarti udara bersih atau area yang penuh dengan pohon itu berarti tidak ada polusi, berakar dari kurangnya kesadaran dan pendidikan tentang kualitas udara,” ujar Piotr Jakubowski.
Piotr juga menjelaskan, anggapan tinggal di kawasan yang banyak pepohonan dan jauh dari polusi udara maka udaranya aman dihirup, adalah hal yang keliru.
"Partikulat PM2,5 yang berbahaya bagi fungsi paru dan memperburuk penyakit asma dan jantung itu, bisa menyebar ratusan kilometer dari sumbernya," kata dia.
Piotr mencontohkan kondisi udara hasil pantauan Nafas yang menunjukkan kualitas udara kawasan Jakarta Pusat dan Tangerang Selatan yang hampir sama buruknya.
“Ini kami ketahui melalui data yang kami kumpulkan dari 130 sensor di Indonesia. Kami hadir untuk membantu masyarakat merubah kesalahpahaman tentang kualitas udara menjadi wawasan yang baru dan benar," ujar Piotr.
Untuk mendorong agar masalah kualitas udara menjadi perhatian serta mendorong langkah perbaikan lebih nyata, aktivis Bicara Udara, Renny Fernandez mengajak semua pihak bergabung dan terlibat dalam pembicaraan masalah ini.
"Aku rasa salah satu caranya biar kita bisa ikut dalam pembicaraan mengenai topik ini (polusi udara dan perubahan iklim) kita perlu join atau berinteraksi dengan komunitas yang fokus pada isu tersebut. Salah satunya ya Bicara Udara yang berusaha menjadi sebuah platform learning hub untuk semakin menyebarkan campaign hak udara bersih," tutur Renny Fernandez.
Sejumlah riset menunjukkan jika kualitas udara berdampak pada kesehatan bahkan panjang usia manusia. Riset terbaru yang dimuat Environmental Research Letters pada 9 September 2021 menunjukkan, polusi udara berdampak pada otak. Peningkatan kadar PM2,5 bahkan dikaitkan dengan penurunan akut fungsi kognitif