Satgas COVID-19: Jika Harga PCR Harus Diturunkan, Maka Wajib Disubsidi
- Pixabay/neelam279
VIVA – Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mewajibkan tes PCR sebagai syarat melakukan perjalanan dengan pesawat udara menuai kritikan. Bukan masalah layanannya, tetapi kebijakan yang tertuang dari instruksi Presiden Joko Widodo melalui Luhut Binsar Pandjaitan ini meminta agar tarif tes PCR diturunkan hingga Rp300 ribu.
Instruksi tersebut menuai pro kontra. Sebab, pakar menilai wajibnya PCR bagi syarat perjalanan kurang bijak, meski tujuannya menekan kasus COVID-19. Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam memberlakukan aturan untuk menekan angka penyebaran COVID-19, terutama terkait penetapan tarif Swab Test. Pemerintah terkesan gegabah dalam mengambil langkah.
Bukan tanpa alasan, beberapa saat lalu, Kemendagri sempat mengeluarkan peraturan bahwa PCR menjadi syarat untuk penumpang yang melakukan perjalanan transportasi udara. Selang beberapa hari menuai kontra, kembali muncul Surat Edaran terbaru yang menyatakan bahwa PCR dapat digunakan dan berlaku 2x24 jam, antigen berlaku 1x24 untuk penerbangan domestik.
Instruksi Presiden melalui Luhut untuk menurunkan harga PCR menjadi Rp300 ribu juga menuai kontra karena PCR akan dijadikan syarat utama untuk seluruh moda transportasi.
"Mungkin saja diturunkan. Tetapi harus ada subsidi dari Pemerintah Indonesia agar tarifnya dapat ditekan hingga mencapai Rp300 ribu," kata Suryani Motik, Waketum Kadin Indonesia Bidang GCG & CSR.
"Namun, margin 50 - 60 persen yang disebutkan belum termasuk komponen jasa pelayanan biaya operasional, tenaga kesehatan dan dokter yang diperlukan dalam memproses sampel serta memvalidasi hasil PCR," tuturnya.
Tercatat, sudah dua kali Pemerintah menurunkan tarif tes PCR yang berlaku secara nasional. Sayangnya, tidak semua penyedia layanan PCR setuju dengan kebijakan ini, mengingat akan ada dampak dari segi kualitas yang dipertaruhkan.
Bukan rahasia bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam memproses sampel PCR masih diimpor dari luar. Maka dari itu, banyak hal yang harus dipertimbangkan terutama dari segi bahan material produksi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini disampaikan langsung oleh Kabid Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19, Alexander Gintung.
"Apabila harga PCR harus diturunkan menjadi Rp300 ribu, maka harus disubsidi oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan produksi bahan baku yang sampai sekarang belum dapat terproduksi besar di Indonesia," kata dia saat diskusi di Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Selasa 26 Oktober 2021.
Sayangnya, menurunkan tarif tidak seperti membalikkan telapak tangan. Karena, kebijakan ini akan memiliki dampak besar terhadap kualitas dari pelayanan itu sendiri. Mengingat dari awal, para penyedia layanan PCR telah beberapa kali menyesuaikan tarif kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Selain itu, para penyedia layanan sendiri menyediakan paket tes PCR yang harganya masih dalam regulasi pemerintah yang wajar. Jika perlu dibandingkan, harga tes PCR di luar negeri jauh lebih tinggi.
Pun jika ingin dibandingkan, ada India yang memiliki tarif lebih rendah. Namun, tarif PCR di India sendiri mendapatkan subsidi penuh dari Pemerintah Pusat mengingat mereka sempat mengalami ledakan kasus COVID-19 yang cukup dahsyat.
"Jadi, intinya kembali ke awal, kami selalu mengedepankan kualitas. Dan ketepatan hasilnya dapat kami pertanggungjawabkan. Kami akan sangat berat hati jika harus menurunkan lagi tarifnya karena hal ini akan berdampak langsung dengan kualitas layanan yang kami tawarkan pada pelanggan kami," ujar Nathasa Febrina, perwakilan dari Bumame Farmasi.
"Sejak awal, Bumame Farmasi telah berkomitmen memberikan layanan untuk memudahkan masyarakat. Selain itu, kami selalu mengacu kepada kebijakan yang dirilis oleh Pemerintah Pusat. Semua laboratorium kami telah bersertifikat resmi Kementerian Kesehatan. Kami berharap Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan keputusan ini lebih bijak agar kami sebagai penyedia layanan dapat bekerja maksimal," kata Nathasa Febrina.