Pakar IDI Peringatkan Ini Saat Kasus COVID-19 Mulai Turun

Ilustrasi jaga jarak/virus corona/COVID-19.
Sumber :
  • Freepik

VIVA – Kasus COVID-19 di Tanah Air perlahan menurun seiring diterapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama beberapa bulan terakhir. Tak sedikit masyarakat yang euforia dengan penurunan angka itu dan seolah siap untuk hidup berdampingan dengan virus tersebut. Apa kata pakar?

Masih teringat jelas kasus kerumunan di Holywings lantaran masyarakat yang tak mengindahkan protokol kesehatan. Padahal, banyak pakar sudah mengingatkan, protokol kesehatan tetap diperketat meski pemerintah sudah mulai membuka fasilitas publik.

Hal itu pula yang menjadi kekhawatiran Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Zubairi Djoerban yang menyebut rencana untuk hidup berdampingan dengan virus tentu sangat baik. Merujuk pada beberapa situasi pandemi, Prof Zubairi menyebut transisi membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Pandemi influenza H1N1 1918 menjadi endemi dan muncul dalam wabah musiman yang lebih kecil pada 40 tahun berikutnya. Kemudian, wabah SARS-CoV-1 yang mewabah sejak 2002 berhenti sampai Juli 2003. Namun, sempat ditemukan pada 2004 di Tiongkok," jelasnya dalam akun twitter pribadi @ProfesorZubairi.

Tetapi, transisi ini dianggap terlalu cepat sehingga perencanaan belum matang dan masyarakat belum siap. Sebab, menurut Prof Zubairi, bukan langkah mudah untuk bisa hidup berdampingan dengan virus sementara belum semua masyarakat memahami bahayanya. 

"Saya oke-oke saja jika transisi dari pandemi ke endemi direncanakan. Artinya kita harus menyesuaikan diri dengan pola pikir baru: hidup dengan SARS-CoV-2. Pertanyaan besarnya, apakah terlalu dini untuk transisi atau apa-apa saja yang diperlukan untuk sampai ke sana (endemi)," tambahnya.

Indonesia yang terdiri dari kepulauan, imbuhnya, tentu memiliki beragam faktor berbeda di tiap daerahnya untuk bisa mengetaskan pandemi. Apalagi masih ada ketimpangan faskes dan serapan vaksinasi yang bervariasi serta ketersediaannya.

Masyarakat dan pemerintah, jelasnya, harus mempersiapkan juga kapasitas layanan kesehatan untuk mengelola lonjakan kasus di masa depan sebagai mitigasi. Sebab, alih-alih berubah jadi endemi, lonjakan kasus di masa depan berpotensi memicu hiperendemi. Hiperendemi berarti saat adanya wabah dan penyakit dengan jumlah kasus yang sangat tinggi di berbagai populasi. 

"Saya rasa situasi yang membaik ini momentum yang pas untuk mempersiapkan transisi. Ya syaratnya harus ada koordinasi yang solid semua pihak dan tidak boleh menurunkan kewaspadaan. Kalau longgarnya kebablasan, bisa-bisa malah menjadi hiperendemi, alih-alih menuju endemi," terangnya.

Menurutnya, pandemi yang nantinya dinyatakan berakhir bukan berarti tak ada lagi atau nol kasus melainkan hanya perubahan angka saja. Terlebih, butuh banyak upaya seperti pemberian vaksinasi dengan durasi tertentu hingga pola kasus yang harus diawasi.

"Pertama, “mengakhiri” pandemi bukan berarti SARS-CoV-2 akan hilang dan tidak ada kasus baru. Banyak faktor yang membuat pandemi bergeser menjadi endemi. Seperti jumlah penularan, kasus, dan kematian beserta polanya. Juga soal durasi perlindungan dari vaksinasi dan infeksi alami," bebernya.