Ini yang Diperlukan untuk Atasi Pandemi COVID-19 di Indonesia

Ilustrasi virus corona.
Sumber :
  • Freepik/pikisuperstar

VIVA – Pandemi COVID-19 tengah melanda dunia dalam 1,5 tahun terakhir. Berdasarkan data dari worldometers.info, hingga Selasa, 10 Agustus 2021, total kasus COVID-19 seluruh dunia mencapai 204.105.357 kasus dengan angka kematian mencapai 4.315.655 jiwa dan sembuh 184.281.846 orang.

Ada lima negara dengan kasus total terbanyak yaitu Amerika Serikat dengan jumlah kasus COVID-19 sebanyak 36.780.480, disusul India (31.997.017), Brasil (20.178.143), Rusia (6.469.910), dan Prancis (6.310.933).

Ada pun 10 negara dengan penambahan kasus harian COVID-19 tertinggi adalah Amerika Serikat (102.375), Iran (40.808), India (27.429), Inggris (25.161), dan Turki (23.731). Kemudian Rusia (22.160), Indonesia (20.709), Thailand (19.603), Malaysia (17.236), dan Jepang (14.472).

Melihat hal tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Junior Doctor Network (JDN) Indonesia, dr. Vito A. Damay mengatakan bahwa setiap negara memiliki caranya masing-masing dalam mengatasi COVID-19. Hal tersebut amat ditentukan dari persoalan yang dihadapi, kondisi, hingga jumlah penduduk.

"Tidak mungkin membandingkan apple to apple tantangan apa yang dihadapi Indonesia saat pandemi seperti saat ini. Tentu berbeda dengan negara lain. Dengan kondisi negara dan jumlah penduduk yang bervariasi tentu berbeda dengan negara lain," ungkapnya dalam keterangan yang diterima VIVA, Rabu, 11 Agustus 2021.

Vito berpendapat, yang bisa menjadi perbandingan adalah dengan penanganan pandemi di Indonesia dalam 1,5 terakhir ini. Ada capaian yang patut diakui dalam penanganan pandemi. Dia mencontohkan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) jauh lebih baik daripada awal pandemi. Begitu juga obat-obatan yang diusahakan untuk terus dipenuhi.

Dia yakin yang dilakukan bangsa ini saat ini lebih baik daripada setahun yang lalu dalam menangani pandemi. Tentu harus diakui masih banyak hal yang bisa diperbaiki yang perlu kolaborasi, koordinasi lebih lanjut.

"Namun, hal yang tetap perlu diingat ada juga pencapaiannya," ujar Vito.

Di lain sisi, dia juga berpendapat, kritik memang perlu dilakukan. Selain itu yang tak kalah penting adalah kontribusi. Kalau kritik tanpa kontribusi, dia menganggap kurang adil.

"Kritik tentu boleh tapi juga berikanlah kontribusi dalam menangani pandemi," kata  Vito.

Dia juga menyinggung soal kontribusi media massa dalam penanganan pandemi. Vito mengapresiasi media yang ikut melakukan edukasi masyarakat dan memberikan informasi terkait pandemi COVID-19.

"Saat ini juga ada usaha media untuk berkolaborasi dengan para ahli, agar dokter bisa melakukan edukasi kepada masyarakat. Karena edukasi itu amat penting," ujarnya.

Jika tidak, kata dia, maka masyarakat tidak memahami pandemi yang saat ini terjadi. Dia menceritakan, dalam pandemi Flu Spanyol 100 tahun yang lalu, karena masih minimnya edukasi menyebabkan jatuh korban yang amat banyak.

“Orang tidak mengetahui bagaimana bisa ada yang terkena flu, jatuh langsung meninggal dunia. Pandemi saat itu (juga) terjadi di seluruh dunia, diperkirakan sepertiga populasi manusia di dunia meninggal dunia (akibat flu Spanyol),” ujar Vito.

Untuk diketahui, berkaca dengan kondisi pandemi di beberapa negara, seperti di India, jumlah kematian yang tercatat secara resmi akibat COVID-19 pada akhir Juni lalu mencapai 400.000.

Meski menurut Riset Center for Global Development (CGD) diperkirakan jumlah kematian akibat COVID-19 di India bisa “10 kali lipat lebih tinggi” dari jumlah resmi yang tercatat dalam data Pemerintah.

India juga menempati peringkat kedua, Negara dengan kasus COVID-19 tertinggi kedua di dunia.

Sementara Thailand, pada akhir Juli lalu, kembali menghadapi lonjakan kasus dengan penambahan kasus harian lebih dari 17,5 ribu. Dengan angka kematian lebih dari 4,5 ribu.

Thailand sempat menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang bisa mengendalikan pandemi COVID-19 dengan sangat baik pada awal-awal masa pandemi. Namun menghadapi masalah saat program vaksinasi.

Pemerintah Thailand memiliki kendala pada stok dan pengelolaan program vaksinasi. Pemerintah Thailand juga dinilai terlambat dalam memesan vaksin dibandingkan dengan negara-negara seperti Brunei, Vietnam, Indonesia hingga Malaysia.