Bahaya Kebutaan Intai Penyandang Lepra, Mampukah Dicegah?

Ilustrasi mata.
Sumber :
  • Pixabay/ ShaunNameNotTaken

VIVA – Pandemi COVID-19 yang masih melanda seolah menjadi sorotan utama dan melupakan penyakit berbahaya lainnya, termasuk lepra. Padahal, penyakit ini cukup mengkhawatirkan di Indonesia dengan bahaya kebutaan yang mengintai.

Secara global, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan penderita lepra terbanyak, setelah India dan Brasil. Bahkan, jumlahnya mencapai 17.439 kasus pada tahun 2019, naik 2,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagai penyakit infeksi sistemik, lepra bisa membuat penderitanya mengalami komplikasi okular lagoftalmus paralisis atau ketidakmampuan mata untuk menutup rapat. Tentunya jika tidak segera ditangani, risiko kebutaan dapat mengancam.

“Penyakit lepra merupakan penyakit infeksi dengan frekuensi komplikasi okular yang cukup tinggi. Kelainan mata pada penyandang lepra, termasuk lagoftalmus paralisis, membutuhkan deteksi dini dan tata laksana yang tepat guna mencegah gangguan penglihatan yang bisa berakibat kebutaan," ujar Head of Trauma Center sub Spesialis Divisi Plastik dan Rekonstruksi Mata JEC Eye Hospitals and Clinics, Dr. dr. Yunia Irawati, Sp.M(K), dalam acara virtual, Senin, 9 Agustus 2021.

Diakui staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, keterbatasan akses dan biaya untuk berobat menyebabkan penyandang lepra baru mengunjungi penyedia layanan kesehatan ketika sudah mengalami komplikasi yang mengancam penglihatan.

Untuk itu, dalam perjuangannya mencegah komplikasi lepra, dokter Yunia Irawati melakukan penelitian dalam disertasi berjudul 'Perbandingan Efektivitas dan Efisiensi antara Teknik Modifikasi Tarsorafi dengan Teknik Gold Weight Implant sebagai Tatalaksana Operatif Lagoftalmus Paralisis pada Penderita Lepra'.

"Teknik modifikasi tarsorafi yang saya teliti, terbukti sama efektifnya dengan metode gold weight implant, yang paling sering digunakan untuk menangani lagoftalmus paralisis pada penderita lepra. Bahkan, dibandingkan metode tersebut, teknik ini juga teruji lebih efisien dari sisi komplikasi dan biaya operasi," imbuhnya yang baru saja meraih gelar Doktor pada Ujian Terbuka tersebut.

Gold Weight Implant sendiri dianggap kurang efektif lantaran biaya tindakan metode ini cenderung mahal dan masih bisa berdampak komplikasi setelah pemasangan implan, seperti inflamasi, alergi, ekstrusi, migrasi, ptosis, dan astigmatisme. T

eknik ini sejatinya berupa menjahit implan emas di kelopak mata atas yang nantinya bisa kembali menutupkan mata.

"Bagi penderita lepra yang sebagian besar berasal dari masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan pekerjaan yang tidak tetap, tindakan penanganan melalui gold weight implant tentunya membutuhkan pendanaan yang memberatkan. Dengan pengembangan lebih lanjut, modifikasi tarsorafi dapat menjadi alternatif tata laksana operatif lagoftalmus paralisis untuk menjangkau penderita lepra dari kalangan yang lebih membutuhkan,” imbuhnya.

Penelitian dokter Yunia berlangsung selama Oktober 2018-Mei 2020 dengan melibatkan 19 subjek yang terdiri dari 27 mata. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa modifikasi tarsorafi memberi tingkat efektivitas yang sama dengan teknik gold weight implant sebagai tata laksana operatif lagoftalmus paralisis pada penderita lepra.

Durasi atau lama waktu tindakan yang dibutuhkan metode modifikasi tarsorafi juga sama efisiennya dengan teknik gold weight implant. Namun, modifikasi tarsorafi lebih unggul dari segi efisiensi biaya dan risiko komplikasi yang mungkin terjadi.

"Harapan saya, teknik modifikasi tarsorafi segera menjadi langkah penanganan yang bisa menjangkau lebih banyak penyandang lepra dari berbagai kalangan,” pungkasnya.