Kontroversi Ivermectin, Dianggap Obati COVID-19 Meski Masih Uji Klinis

Ilustrasi obat COVID-19.
Sumber :
  • Health Europa

VIVA – Ivermectin masih menjadi perbincangan hangat di dunia medis karena dianggap mampu mengobati pasien COVID-19. Namun obat anti parasit ini masih dalam tahap uji coba sehingga belum diberikan izin edar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.

Obat anti parasit ini sudah dipakai di India dan kini di Indonesia. Pengalaman salah seorang dokter spesialis penyakit dalam, dr. Hadianti SpPD, KPTI, menyebut obat ini telah diberikannya pada pasien yang membutuhkan sebanyak 7 orang.

Seorang pasiennya yang mengidap COVID-19, ia tangani pada Februari 2021. Ada pun, kata dokter Hadianti, pasiennya berjenis kelamin laki-laki dan berusia 52 tahun disertai penyakit diabetes serta jantung. Bahkan, berat badan pasien mencapai 140 kilogram sehingga dirawat dengan memakai ventilator. Namun, kondisi pasien membaik usai diberi ivermectin.

"Inilah pasien yang membuat saya menggunakan Ivermectin dengan yakin," ujarnya pada webinar World Ivermectin Day, baru-baru ini.

Atas dasar itu, Front Line COVID-19 Critical Care Alliance (FLCCC) mengakui ivermectin bisa menjadi terapi yang baik bagi COVID-19. Menurut President, Chief Medical Officer FLCCC Alliance, Pierre Kory tercatat sudah 40 tahun ivermectin tercupta dengan tingkat keamanan yang baik sehingga minim efek samping.

"Ivermectin dinyatakan oleh World Health Organization [WHO] sebagai obat esensial dan merupakan salah satu obat teraman untuk dikonsumsi. Namun, diakui bahwa banyak informasi yang tidak benar telah beredar mengenai Ivermectin,” imbuhnya.

Di sisi lain, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Dr Putu Moda Arsana menegaskan perlunya tiga pertimbangan sebelum para dokter mengambil keputusan pada pasien, termasuk memberi obat. Pertimbangan pertama adalah keahlian klinis dari dokter tersebut.

"Jadi kemampuan, knowledge, dan pengalaman dokter tersebut ini yang menjadi pertimbangan yang pertama, karena tidak mungkin seorang dokter mengobati sesuatu atau mengobati pasien tetapi dokter tidak tahu tentang apa yang akan diberikan," kata Putu Moda.

Lebih lanjut, pertimbangan kedua yaitu preferensi dan nilai yang diyakini pasien. Hal ini, lanjut Putu, cenderung didasari oleh faktor psikososial dan biologis pasien. Seperti saat harga obat yang terbilang mahal dan tak mampu dibeli oleh pasien tersebut.

"Sehingga dokter harus mempertimbangkan atau mencari alternatif lain obat yang lebih murah, mungkin memang secara efikasi dia tidak sebaik yang mahal tetapi karena social problem, maka dokter harus menganjurkan atau membuat resep untuk membuat obat-obat yang lebih murah," ujarnya.

Terakhir, pertimbangan berbasis bukti yang perlu ditelaah oleh sains dan ilmu kedokteran. Dijelaskan dokter Putu, ketiganya ini harus dikolaborasikan sehingga dapat memberi pengobatan terbaik bagi pasien.

"Akan tetapi pada saat kita mempraktekkan evidence based, pada saat kita melakukan decision making in treatment, maka evidence based itu bukanlah satu-satunya," kata dokter Putu.