Apakah Obat yang Disebut di Medsos Manjur Sembuhkan COVID-19?

Belum ada obat yang khusus mematikan virus corona saat ini. (Antara: Umarul Faruq)
Sumber :
  • abc

Semakin banyak muncul informasi dan pertanyaan soal penggunaan Ivermectin atau Remdesivir di grup-grup WhatsApp. 

Apakah benar obat-obatan itu bisa membantu menyembuhkan mereka yang sakit COVID?

Kami membahasnya bersama dr Decsa Medika Hertanto, SpPD, dokter spesialis penyakit dalam di RSUD Dr. Soetomo.

Di akun Instagram-nya, @dokterdecsa, ia sudah mencoba mengedukasi warga soal obat-obatan yang dianggap bisa menyembuhkan COVID, selain juga bahaya dari mengobati diri sendiri.

Berikut adalah sejumlah pertanyaan yang banyak ditemukan di kalangan masyarakat:

Apakah obat untuk COVID-19 sudah ada? Obat apa yang perlu diminum saat sakit COVID-19? Apa yang perlu diminum kalau tidak menunjukkan gejala? Bolehkah mengonsumsi ivermectin?Bagaimana dengan mengonsumsi antibiotik? Apa risiko dari mengobati diri sendiri? Apakah obat untuk COVID-19 sudah ada?

Jawabannya, belum ada.

"Obat yang untuk mematikan [virus], kemudian langsung menyembuhkan tidak ada," kata dr Decsa.

"Tapi kalau obat untuk mengatasi kemungkinan atau risiko untuk terjadinya komplikasi, kemudian mempercepat perawatan di rumah sakit, ada obat yang direkomendasikan WHO saat ini."

Namun, penelitian masih tetap berlangsung.

Obat apa yang perlu diminum ketika positif COVID-19?

Tergantung seberapa parah gejalanya: ringan, sedang, atau berat.

Idealnya, pasien bergejala ringan melakukan isolasi mandiri di rumah.

Sementara yang bergejala sedang dan berat idealnya dirawat di rumah sakit, tapi saat ini kapasitas rumah sakit di Indonesia dilaporkan sudah mulai penuh.

Bagi yang melakukan isolasi mandiri, kemudian mulai mengalami demam, nyeri otot atau sakit kepala, WHO menyarankan untuk mengonsumsi parasetamol.

Dosis orang dewasa umumnya satu atau dua tablet 500 mg atau satu tablet 650 mg, maksimal empat kali dalam 24 jam.

"Kalau ringan itu sebenarnya simtomatik, atau kita hanya mengatasi gejala yang muncul," kata dr Decsa.

"Misalnya lagi flu dikasih obat flu, itupun harus melalui konsultasi dengan dokter."

Ada obat bagi mereka yang tak bergejala?

Kalau dinyatakan positif dan Anda tak menunjukkan gejala, maka yang paling penting untuk mencegah orang lain tertular adalah lagi-lagi dengan isolasi mandiri.

Selama isolasi mandiri ini, Anda hanya perlu menjalankan pola hidup sehat, seperti:

Tidur yang cukup minimal delapan jam, mengurangi stress, latihan bernapas, menjaga pola makan teratur serta bergizi seimbang.

"Sebenarnya tidak perlu obat kalau yang tidak ada gejala sama sekali," kata dr Decsa.

"Kalaupun dalam satu porsi tidak ada sayur-buah, dan gizi makanan tidak seimbang, baru boleh ditambahkan vitamin."

Tapi, untuk memilih vitamin, penderita tetap harus konsultasi dengan dokter,.

Alasannya karena tidak semua vitamin cocok dengan tubuh semua orang.

"Misalnya, kemarin sempat beredar informasi untuk minum vitamin C tiap berapa jam. Vitamin C kan asam banget," katanya.

"Waktu dimasukkan ke lambung, asam yang sangat tinggi bisa meningkatkan risiko asam lambung. Jadinya maag."

Inilah mengapa setiap obat atau vitamin yang hendak dikonsumsi harus dikonsultasikan ke dokter.

Bagaimana dengan mengonsumsi ivermectin?

Belakangan ini, banyak orang membicarakan ivermectin yang di Indonesia terdaftar untuk mengobati indikasi infeksi kecacingan.

Namun, WHO menyarankan agar pengobatan COVID-19 dengan ivermectin hanya diberikan pada peserta uji klinis.

Anda harus mendapat persetujuan dan di bawah pengawasan dokter bila hendak mengonsumsi ivermectin, menurut Badan POM RI.

"Data uji klinik yang cukup untuk membuktikan khasiat Ivermectin dalam mencegah dan mengobati COVID-19 hingga saat ini belum tersedia," bunyi keterangan BPOM RI.

Tapi laporan di sejumlah media menyebutkan banyak orang di Indonesia yang mengikuti anjuran teman atau keluarganya untuk membeli ivermectin demi mengobati atau melindungi diri dari COVID-19.

Padahal, menurut dr Decsa, izin minum obat bagi pasien tidak semudah itu diberikan.

"Belum tentu obat yang teman kita minum, ketika kita minum, kita jadi ikutan sembuh. Mungkin malah kena efek samping dari obat tersebut," katanya.

Untuk ivermectin sendiri, bila dikonsumsi dalam jangka panjang tanpa resep dokter, Anda mungkin dapat mengalami nyeri otot atau sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, sering mengantuk, atau Sindrom Stevens-Johnson.

Sementara itu, obat remdesivir hanya direkomendasikan untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, karena belum ditemukan bukti yang cukup kuat manfaat penggunaannya.

Obat lain yang menurut WHO harus dihindari untuk merawat pasien COVID-19 adalah hidrosiklorokuin dan lopinavir/ritonavir.

Jadi, Anda harus hati-hati dalam mengonsumsi obat.

Apakah antibiotik akan menyembuhkan COVID-19?

Dokter Desca mengaku ini adalah salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepadanya.

Dan jawabannya adalah tidak.

Antibiotik digunakan ketika ada infeksi tumpangan, kata dr Decsa.

"Saat virus menyerang tubuh kita, kan sistem pertahanan tubuh lagi loyo, itu gampang banget dimasukkin sama bakteri," katanya.

"Virus masuk dan secara tidak langsung menurunkan sistem kekebalan kita, utamanya pada populasi rentan," kata dr Decsa.

"Jadi dokter akan mempertimbangkan apakah ada infeksi sekunder atau tidak. Jika ada, baru dilakukan pemberian antibiotik.

Jangan lupa, virus berbeda dengan bakteri dan antibiotik tidak akan mencegah masuknya virus ke dalam tubuh.

"Antibiotik bekerja jika ada bakteri masuk, sehingga ada yang dibunuh, yang diperlambat produksinya. Jadi bukan sebagai pencegahan [COVID-19]," ujarnya.

"Antibiotik murni sebagai terapi."

Apa bahayar dari mengobati diri sendiri?

Dr Decsa mencoba menjawab pertanyaan ini dengan sebuah analogi.

Misalnya, lambung si A tidak cocok makan makanan pedas, tapi lambung si B cocok banget makanan pedas.

Dalam analogi ini, makanan sama halnya dengan obat.

"Jadi jangan dikira bahwa semua obat itu akan cocok ke diri kita masing-masing," kata dr Decsa.

"Mengapa tidak boleh melakukan terapi? Karena belum tentu cocok. Kalau misalnya niatnya pengen sembuh tapi malah kena efek samping obat, yang rugi siapa?"

Nah, dokterlah yang hadir untuk memperkecil risiko terjadinya efek samping, sekaligus memastikan suatu obat cocok untuk tubuh penderita.

"Jadi, ada perannya masing-masing," katanya.

"Enggak mungkin dokter sekolah lebih dari enam sampai 10 tahun tanpa mempelajari hal yang rumit ini."

Jadi dr Decsa mengatakan yang paling penting adalah pencegahan.

"Jangan sampai sakit. Percuma kita ngasih obat yang advanced banget tapi nanti ujung-ujungnya tidak cocok, dan risiko untuk terjadi kematian tinggi. Percuma," katanya.

Ibarat penyakit adalah musuh, kita harus tahu siapa yang kita lawan dan kelemahannya untuk bisa menang.

"Kita sudah tahu si virus ini menularnya utama lewat mana? 'Oh, droplets, bahkan aerosol di ruangan tertutup.' Bagaimana cara mencegahnya?"

"Ya menggunakan masker."

Sesederhana itu, tekan dr Decsa.

"Mungkin bagi beberapa orang, karena tidak tahu penyakit [COVID] ini kelemahannya di mana, dia menyiapkan hal yang sekiranya tidak perlu dilakukan."