Pasien Isolasi Mandiri Harus Tahu Saturasi Oksigen Normal dan Tidak

Ilustrasi virus corona COVID-19
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Bagi pasien positif COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri di rumah, sangat penting untuk mengetahui kadar saturasi oksigennya tetap dalam keadaan normal. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan saturasi oksigen atau disebut happy hypoxia.

Jika sampai terjadi happy hypoxia atau berkurangnya jumlah oksigen dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala, hal ini dapat membahayakan bahkan berakibat fatal. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organ tubuh.

Lalu, berapa kadar saturasi oksigen yang tergolong normal dan di bawah normal? Spesialis Paru, dr. Prasenohadi, Sp.P-KIC, Ph.D, akan memberikan penjelasannya.

"Normal itu di atas 95 persen. Itu sudah diteliti namanya kurva disosiasi oksigen yang menghubungkan antara saturasi oksigen dengan kadar oksigen dalam darah. Jadi di atas 95 sudah normal," ujarnya dalam tayangan Hidup Sehat di tvOne, Senin, 12 Juli 2021.

"Bisa di atas 100, tapi biasanya dengan kondisi-kondisi khusus kalau dirawat di ICU butuh bantuan napas. Tapi biasanya kalau orang normal seperti kita ini 95-100," sambung dia.

Lebih lanjut, dokter Prasenohadi menjelaskan, jika di bawah 94 persen, maka saturasi oksigen tergolong di bawah normal atau disebut juga dengan kekurangan oksigen atau happy hypoxia.

"Kadar di bawah 95 persen bahkan bisa jauh di bawah 95 persen. Kalau masa COVID-19 seperti sekarang ini, pasien datang dengan saturasi 50 persen di IGD. Dan itu kadang-kadang pasien tidak merasakan sesak napas karena ada yang disebut kondisi happy hypoxia," terang dia.

Bahkan di awal-awal pandemi, Prasenohadi menceritakan, dia pernah mendapatkan pasien dengan saturasi oksigen 70 persen tapi tidak merasakan sesak napas.

"Padahal napasnya udah 40 kali semenit. Kita bernapas normal kan 15-20 kali semenit. Memang kalau sudah di bawah 95 persen, kita bisa lihat dia napasnya mulai cepat, penggunaan otot-otot bantu napas, otot leher dan kita bisa buktikan nanti dengan pemeriksaan pulse oximeter yang paling sederhana. Yang invasif tentu ambil darah arteri kemudian nanti diperiksa kadar tekanan oksigennya," tutur dr. Prasenohadi.