Dampak Buruk Stunting, Salah Satunya Bikin IQ Merosot

Ilustrasi anak-anak
Sumber :
  • pixabay/stockpict

VIVA – Penanganan stunting di masa pandemi COVID-19, menghadapi tantangan baru. Yaitu, bagaimana di tengah kesibukan pemerintah mengatasi pandemi, program-program pencegahan stunting harus tetap diprioritaskan. Bila tidak, kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak-anak Indonesia jelas terdampak. 
 
Pemerintah sendiri telah menargetkan penurunan stunting hingga 14 persen pada 2024. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, dr. R. Nina Susana Dewi Sp. PK (K)., Mkes. MMRS, mengatakan, stunting merupakan salah satu indikator prioritas dalam SDGs (Sustainable Development Goals). 

"Di mana target 2030 adalah terbebas dari malnutrisi. Melalui penanggulangan stunting human capital index Indonesia akan meningkat,” kata dia dalam webinar Aksi Bersama Dalam Upaya Pencegahan Stunting untuk Mencapai Target 14% pada 2024, yang digelar Danone Indonesia, Rabu 7 Juli 2021. 
 
Sementara itu, Ketua TP PKK Provinsi Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil, S.iP.,M.I.Kom menyampaikan, masih tingginya permasalahan gizi dan tingginya stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan. 

"Saya khawatir fokus kita ke pandemi menjadi hal yang perlu dipersiapkan lebih matang untuk stunting ini, karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa dilupakan atau tidak optimal. Apalagi saat ini saya sebagai penggerak PPK di masyarakat tidak ada lagi posyandu dikarenakan khawatir terjadinya penularan virus corona. Ada beberapa posyandu belum tutup yaitu posyandu keliling walaupun tidak optimal karena kondisi PPKM darurat Jawa-Bali," tuturnya. 

Selain itu, Atalia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat betapa pentingnya stunting ini. 

"PR kita adalah capaian target sebesar 14 persen di tahun 2024, termasuk juga harus berkomitmen zero new stunting di tahun 2023. Sebagai seorang yang bergerak langsung dengan masyarakat khususnya, masih banyak anak stunting disembunyikan. Ada stigma di masyarakat bahwa stunting hanya berlaku pada masyarakat yang ekonominya rendah atau di pedesaan saja," kata dia. 

Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM, Prof. DR. Dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A (K), menyampaikan persepsinya mengenai definisi stunting.

"Menurut WHO 2020, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada di bawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO 2006, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik," terang dia. 

Damayanti menjelaskan, kekurangan gizi kronik disebabkan karena asupan nutrisi yang tidak memadai, misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan, dan peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit. 

"Misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, dan kondisi atau penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus, misalnya bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan dan lainnya," ungkap dia. 
 
Lebih lanjut Damayanti mengatakan, tatalaksana stunting harus disesuaikan dengan penyebabnya. Misalnya, perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar, yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dan lain-lain) di usia dewasa. 

"Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa. Pelbagai penelitian menunjukkan, stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin. Penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia 2 tahun, dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90 persen," terang dia. 

Namun menurut Damayanti, jika pada usia 2 tahun tinggi badan masih di bawah -2 simpang baku, maka akan sulit mengejar ketertinggalan tersebut. Bahkan jika masih berada di bawah -3 simpang baku, berisiko memerlukan pendidikan khusus. 

"WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana, tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan," jelas Prof. Damayanti.

Berada dalam ruang diskusi yang sama, Vice President General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto mengatakan, untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, namun dibutuhkan kolaborasi multipihak. 

"Yang paling penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk merubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan," imbuhnya. 
 
"Sejak 2019, kami bersama Pemprov Jabar telah melakukan kolaborasi dalam upaya penanganan stunting pada 14 kabupaten/kota prioritas di provinsi Jawa Barat. Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, Puskesmas dan rumah sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi," tambah Vera.