Ahli Benarkan Azitromisin dan Oseltamivir Masuk Obat COVID-19

Ilustrasi obat COVID-19.
Sumber :
  • Health Europa

VIVA – Obat Azitromisin dan Oseltamivir tiba-tiba sulit didapat dan harganya melambung tinggi. Hal itu karena masyarakat menganggap kedua obat tersebut ampuh untuk menjaga imunitas, mencegah bahkan mengobati COVID-19. 

Kini, kedua obat tersebut diburu banyak orang dan akhirnya sulit didapat di mana-mana. Lalu, benarkah Azitromisin dan Oseltamivir adalah obat COVID-19? 

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), membenarkan, Azitromisin dan Oseltamivir masuk dalam obat-obatan dalam tata laksana pengobatan COVID-19. 

"Jadi, obat-obat tersebut adalah betul saat ini obat yang masuk dalam rekomendasi Organisasi Profesi di dalam tata laksana atau pengobatan COVID-19 mulai derajat ringan," ujarnya saat webinar VIVA Talk yang digelar VIVA.co.id, Rabu 7 Juli 2021. 

Kendati demikian, Agus menegaskan, obat-obatan tersebut tidak dapat dibeli secara bebas dan harus diberikan atas rekomendasi dokter. 

"Jadi harus dibeli dengan resep dokter. Pemberiannnya pun harus sesuai dengan dosis yang ada, tidak boleh berlebihan. Artinya tidak melewati batas waktu yang ditentukan karena ada range-nya," ungkap dia. 

Agus menjelaskan, konsumsi Azitromisin hanya diberikan selama 5 hari, sedangkan Oseltamivir biasanya antara 5-7 hari atau paling maksimal 10 hari, tergantung pada respons klinis pasien. 

"Jadi, memang tidak bisa melakukan secara medication untuk obat-obatan tersebut karena termasuk obat yang harus diresepkan dengan pengawasan dokter," tegas dia. 

Namun dalam perkembangannya, Agus mengatakan, Azitromisin dan Oseltamivir harus ditinjau ulang terkait keefektifannya sebagai obat COVID-19. 

"Kita akan lihat nanti protokol yang baru dari profesi apakah ke depannya obat ini masuk lagi di dalam tata laksana, sesuai dengan hasil-hasil riset yang ada di luar. Jadi mengenai obat-obat tersebut, saat ini masih menjadi acuan dalam tata laksana atau pengobatan pasien COVID-19," terang dia.

"Tapi pesan saya, tidak ditebus sendiri. Karena dosis harus disesuaikan juga dengan berat badan, lama pemberian dan harus dievaluasi," kata dr. Agus Dwi Susanto.