Penularan COVID-19 Merajalela, Pakar IDI Ungkap Pemicunya

Ilustrasi jaga jarak/virus corona/COVID-19.
Sumber :
  • Freepik

VIVA – Penularan COVID-19 kian meningkat dengan angka kasusnya yang terus bertambah hingga 20 ribu per hari. Banyak masyarakat yang akhirnya mempertanyakan tingginya penularan tersebut dan jurus pencegahan paling utama.

Ketua Satuan Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban menjelaskan bahwa ada durasi tertentu di mana seseorang yang terinfeksi COVID-19 bisa sangat menularkan.

Dijelaskan Prof Zubairi, waktu rata-rata virus menular adalah delapan hari setelah timbulnya gejala.

"Saya merujuk pada penelitian Jeroen van Kampen, konsultan mikrobiologi dan ahli virologi dari Erasmus Medical Center. Jeroen van Kampen melaporkan bahwa penelitiannya tidak menemukan virus SARS-CoV-2 yang dibiakkan dari sampel saluran nafas setelah hari ke-8 sejak timbulnya gejala," jelasnya, dikutip dari akun Twitter @ProfZubairi, Kamis, 1 Juli 2021.

Meski begitu, Prof Zubairi tak menampik bahwa kemungkinan seseorang yang positif COVID-19 setelah hari ke-8, masih bisa menularkan. Namun, potensi penularan sangat kecil, yakni hanya 5 persen.

"Bagi seseorang untuk mengeluarkan atau menularkan atau memproduksi virus, setelah hari ke-15. Dari seratusan pasien yang diteliti, didapati juga bahwa virus shedding (virus yang masih bisa keluar dari seseorang yang sakit) tetap terjadi hingga hari ke-18 dan hari ke-20. Masing-masing terjadi pada satu pasien," bebernya.

Lantas, banyak yang bertanya, kapan seseorang yang terinfeksi itu bisa sangat menular? Menurut Prof Zubairi, dimulai pada minggu pertama sakit begitu muncul gejala.

"Ini disampaikan di The Lancet. Sehingga, saat kita curiga terinfeksi dan gejala muncul, maka segera lakukan isolasi diri," pesannya.

Bagi penyintas COVID-19, diperbolehkan untuk berkumpul kembali atau bertemu dengan orang lain setelah lewat 10 hari dari gejala pertama agar potensi penularan lebih kecil. Selain itu, tak boleh ada demam lebih dari 24 jam.

"Artinya, panas ini tetap tidak ada walaupun tanpa obat penurun panas," jelas Prof Zubairi sembari menyebut bahwa kasus OTG akan sangat sulit dideteksi dan mempermudah penularan.